Lihat ke Halaman Asli

Chaerul Sabara

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Jangan Lebay, Bintang Jasa Buat Fahri dan Fadli Biasa Saja

Diperbarui: 12 Agustus 2020   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Rencana penganugrahan tanda jasa berupa Bintang Mahaputra Nararya kepada dua mantan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon dan Fahri Hamzah, dua tokoh yang sebelumnya dipandang kerap melontarkan kritik pedas kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejak dari periode pertama hingga periode kedua pemerintahan saat ini. Penganugrahan tanda jasa bintang mahaputra yang akan diberikan kepada kedua tokoh ini, sesungguhnya adalah hal yang biasa-biasa saja.

Penganugrahan ini tentunya telah melalui prosedur dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. secara kenegaraan tidak ada yang aneh dalam pemberian tanda jasa bintang kehormatan ini, sebagaimana dikutip dari pernyataan Menko Polhukam Pak Mahfud MD.

"Rakyat dianggap mendapat manfaat atas perjuangan dan jasa mereka. Setiap menteri dan pimpinan lembaga negara yang purna tugas satu periode mendapat bintang tersebut," ujar Mahfud MD.

Isu ini kemudian menjadi seksi dan heboh ketika digiring ke ranah "publik", dengan memframe adanya "perseteruan" antara dua pihak yang saling membenci, entah mengapa rencana penganugrahan ini lantas menjadi liputan dan bahasan dari media-media, mulai dari media mainstream hingga ke media sosial. Kehebohan ini sepertinya tanpa sadar dibawa untuk memenuhi ruangan opini kita, sebagai bagian dari konsumsi publik, yang menempatkan kita dalam posisi melihat adanya rivalitas politik yang tajam antara dua musuh politik.

Padahal sesungguhnya dalam tataran politik yang demokratis, posisi Fahri dan Fadlizon adalah sah-sah saja dan merupakan bagian dari sistem demokrasi itu sendiri, di negara demokrasi manapun perseteruan untuk saling "mengkritik" kebijakan lawan politik itu adalah hal yang lumrah, dan hal ini sudah ditunjukkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Penganugrahan ini kalau bisa seharusnya ditangkap sebagai sinyal positif dari pemerintah yang mengingatkan "kita" bahwa rivalitas politik itu biarlah menjadi urusan di atas meja bagi pemerintah dan parlemen, kerasnya rivalitas yang muncul adalah dalam rangka mencari kebijakan terbaik bagi bangsa. Keseimbangan dalam persaingan harus terus ditumbuh kembangkan, agar tercipta iklim demokrasi yang positif dan kondusif. Persaingan sebagai lawan politik di negara demokratis itu adalah abadi, tapi permusuhan politik itu hanya terjadi di negara otoriter.

Polemik yang timbul terkait penganugrahan tanda jasa bagi Fadlizon dan Fahri Hamzah ini adalah gambaran dari belum dewasanya "kita" dalam menyikapi politik demokrasi yang sebenarnya.

Kita sepertinya belum bisa bersikap dan memandang persaingan politik itu hanya sebatas dalam kompetisi mencari kebijakan terbaik bagi negara, telinga kita masih alergi dengan kritikan, dan parahnya lagi hati kita masih terus berisi dendam pada "musuh", dan otak kita selalu tertutup dari pikiran positif untuk menerima perbedaan pandangan itu sebagai hal yang positif, urgensi mempolemikkan penghargaan bintang mahaputra bagi dua orang tokoh "kontroversial" ini sama sekali tidak ada, apa yang diberikan oleh pemerintah dalam hal ini Pak Jokowi adalah hal yang sangat-sangat biasa dan lumrah, kalau toh ada yang bisa kita anggap istimewa dalam hal ini, adalah semangat demokrasi yang coba ditunjukkan oleh para pemimpin bangsa ini, bahwa semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di mata hukum, persaingan politik yang ada saat ini berada di atas meja, dan menjadi bagian serta urusan bagi pelaku-pelaku politik, bagian rakyat adalah menikmati kebijakan pemerintah.

Menurut hemat saya, tak perlu ada polemik dari hal ini, yang ada justru menjadikan ini sebagai momentum untuk mempererat persatuan dan rasa kebangsaan, apalagi saat ini adalah bertepatan dengan peringatan 75 tahun Indonesia merdeka. Merawat isu-isu rivalitas dan persaingan, apalagi masih ada istilah  "cebong", "kampret" dan "kadrun adalah kemunduran demokrasi.

Kritik adalah bagian penting dari kedewasaan berdemokrasi, tak mungkinlah kritikan tajam dan pedas dari Fahri Hamzah dan Fadlizon dapat menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi, yang ada bahkan membuat pemerintahan lebih bergairah untuk melakukan yang terbaik, karena menjawab kritik itu bukan dengan kata-kata tapi dengan hasil yang nyata, cukuplah kebijakan pemerintah menjadi urusan pemerintah, orang yang diluar pemerintahan sebaiknya diam saja, pemerintah yang dikritik janganlah yang ramai menjawab orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kritikan yang ada.

Apa yang dilkukan oleh pemerintah saat ini sudah on the track, perkara apakah itu sudah sempurna atau belum, itu yang harus didorong baik berupa kritik atau dengan masukan-masukan konstruktif dan kalau tidak bisa dengan itu, cukup dengan diam saja dan menyibukkan diri dengan urusan pribadi maasing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline