Lihat ke Halaman Asli

thCrysmawan_79

financial practitioner & freelance writter

Pak Jokowi for President: Is it Real or Political Joke...?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelumnya mohon maaf jika ada yang tidak berkenan dengan opini ini, tidak ada maksud untuk mendiskreditkan seseorang ataupun institusi manapun. It is an opinion from an ordinary citizen.

Pak Jokowi dan Pak Ahok terpilih sebagai pasangan DKI-1 dan DKI-2 di tahun 2012 secara mengejutkan. Namun bagi masyarakat daerah dimana kedua tokoh ini berasal, sosok mereka tidaklah mengejutkan. Prestasi keduanya juga terbilang gemilang, berupa kerja dan prestasi nyata. Ketika masa kampanye Pilkada DKI kala itu, pasangan ini termasuk minim spanduk/baliho namun gencar dalam kampanye nyata di lapangan. Banyak kebijakan pasangan ini yang menuai protes namun lebih banyak yang memberikan apresiasi. Masyarakat dan pejabat yang manja dengan kekuasaan dibuat tak berkutik oleh keduanya. Harapan baru untuk Jakarta Baru bahkan proyek MRT kembali diaktifkan, perumahan rakyat digalakkan dan masih banyak lagi lainnya.

Tiba-tiba siang ini (Jum’at, 14.03.2014), salah satu tv swasta menyiarkan DPP PDIP menyampaikan pengumuman resmi bahwa kadernya Joko Widodo ditetapkan sebagai Capres 2014 dari PDIP dan ybs menerima pencalonan tersebut. Pengumuman ini menjawab seluruh kegalauan masyarakat bahkan menghanguskan semua jawaban Pak Jokowi bahwa, “Saya ndak mikir “ setiap kali media menanyakan tentang kemungkinan ybs maju sebagai capres.

Bagi saya, pencapresan Jokowi adalah wujud ketidaksabaran DPP PDIP untuk memenangkan Pemilu 2014. Pak Jokowi sebagai kader partai dipaksa tunduk terhadap keputusan partai. Seharusnya DPP PDIP dapat berstrategi one step a head, tidak serta merta mengikuti hasil pooling yang sifatnya fluktuatif, fokus konsolidasi internal partai untuk mencetak kader-kader partai yang bebas korupsi di setiap lini. RI-1 dan RI-2 telah menjadikan semua partai kehausan di tengah kondisi akar rumput sangat labil terutama isu korupsi.

Masa kerja Pak Jokowi sebagai DKI-1 belum ada separuh periode dan sekarang harus persiapan untuk kampanye capres, tidak maksimal ngurusi banjir, macet, perumahan rakyat dan lainnya. DPP PDIP tidak memberi kesempatan Pak Jokowi untuk menyelesaian kerja nyatanya. Slogan-slogan dan program kerja membenahi kesemrawutan Jakarta hanya tinggal rencana dan janji belaka. Tidak ada pertemanan abadi dalam politik, DPP PDIP meninggalkan Partai Gerindra demi kekuasaan yang lebih besar. Seharusnya DPP PDIP mampu bersikap berbeda dan lebih bijaksana. Para pendiri bangsa ini menjadikan politik untuk rakyat, bukan untuk kepentingan golongan dan kekuasaan.

Semoga saja keputusan DPP PDIP ini tidak ‘mbulusukke’ Pak Jokowi dan partai itu sendiri. Akhir kata, meskipun kecewa namun tetap harus menerima bahwa hal itu tidak mungkin diubah lagi. Kita lihat saja perjalanan ceritanya … semoga adalah nyata dan bukan lelucon semata …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline