Badan penyelenggaraan jasa kesehatan (BPJS) terancam defisit sebesar 9 Triliun di akhir tahun 2017 jika keadaan saat ini tidak segera diatasi. Kerugian ini dihitung berdasarkan nilai aktuaria dan perhitungan dari para akademisi.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya kontribusi iuran masyarakat yang hanya membayar saat ingin menggunakan fasilitas kesehatan saja. Saat ini penduduk Indonesia yang bergabung dalam BPJS adalah sekitar 183 juta orang dan hingga akhir tahun 2017 diperkirakan mencapai 185 juta orang. Padahal jumlah masyarakat Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistika (BPS) adalah 260 juta orang, sehingga masih ada sekitar 75 juta orang yang belum terdaftar dalam BPJS.
Kerugian ini didukung dengan beberapa faktor, antara lain kecilnya iuran yang dikenakan, sulitnya menarik iuran, serta dana kapitasi yang belum digunakan secara maksimal. Besar iuran saat ini adalah untuk kelas III Rp 25.500,00; untuk kelas II Rp 51.000,00; serta untuk kelas I sebesar Rp 80.000,00.
Sedangkan untuk pembayaran iurannya sendiri pun terkendala, seperti kurangnya kesadaran masyarakat akan pembayaran tepat waktu setiap bulannya. Beberapa masyarakat masih berpikiran untuk menggunakan BPJS dan membayar iuran hanya bila sakit saja. Jika butuh operasi, baru mendaftar.
Jika obatnya mahal, baru mendaftar. Tak sedikit laporan yang menyatakan bahwa banyak masyarakat mendaftar kelas III di awal dan baru menaikkan kelas apabila diperlukan rawat inap. Selain itu, alokasi dana BPJS untuk dana kapitasi rumah sakit dan puskesmas yang masih belum maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya serapan yang digunakan untuk mengcover kesehatan pasien pada fase kesehatan I seperti puskesmas. Kenyataannya dana kapitasi hanya digunakan untuk dana operasional puskesmas.
Kondisi defisit yang mencapai 9 triliun ini menyebabkan munculnya spekulasi di lingkungan masyarakat bahwa pemerintah akan menaikkan iuran premi.
Walaupun sampai akhir tahun 2017 ini belum ada kebijakan kenaikan premi, namun berita tersebut masih keras berhembus. Sejak 2014 hingga sekarang, kenaikan iuran premi baru dilakukan sebanyak satu kali, yaitu pada tahun 2016. Berdasarkan Pasal 161 Prepres No 111 Tahun 2013 menyatakan bahwa penyesuaian iuran dapat ditinjau paling lama 2 tahun sekali, sehingga kencang berita bahwa kemungkinan kenaikan iuran premi akan dilakukan di tahun 2018.
Sekilas penaikan iuran ini terlihat tidak memihak masyarakat. Namun data BPS di tahun 2014 menyatakan bahwa kelompok termiskin di Indonesia menghabiskan rata-rata Rp 6.006,00 per orang per bulan (POPB) untuk rokok, tetapi hanya menghabiskan Rp 853,00 POPB untuk kesehatan. Jika dihitung-hitung, belanja rokok 7 kali lipatnya lebih banyak daripada biaya kesehatan. Di tahun 2016, 70 juta pria yang menjadi kepala rumah tangga di Indonesia menghabiskan 1-2 bungkus rokok per hari.
Untuk sebulan, jika harga rokok termurah dibanderol sekitar 12 ribu rupiah, maka mereka menghabiskan sekitar Rp 360.000,00 hingga Rp 720.000,00. Apakah iuran BPJS masih dirasa berat? Apabila kenaikan BPJS kelas III dinaikkan menjadi Rp 30.000,00 dari sebelumnya Rp 25.500,00 maka keluarga dengan 4 anggota hanya mengeluarkan Rp 120.000,00 per bulan.
Jumlah itu hanyalah sepertiga dari belanja rokok yang telah disebutkan tadi. Apa hal ini masih bisa disebut tidak memihak rakyat? Selain itu, kita tidak boleh melupakan fakta bahwa 90 juta orang termiskin dan tidak mampu sudah dibantu oleh pemerintah. Tidak perlu bayar iuran sama sekali. Masih tidak adilkah?
Untuk menjangkau pasien dalam jumlah yang lebih besar maka diperlukan biaya yang lebih besar pula. Ide menaikkan iuran BPJS merupakan sebuah solusi yang tepat, namun perlu diimbangi dengan perbaikan regulasi serta kualitas pelayanan BPJS. Tidak hanya semata-mata untuk menutup kondisi defisit.