Gelar profesor merupakan puncak dari pencapaian akademik yang bisa diraih oleh seorang pendidik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai kasus yang menunjukkan bahwa gelar ini sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, seperti dalam dunia politik. Salah satu contoh yang mengemuka adalah Sufmi Dasco Ahmad, politisi dari Partai Gerindra dan Wakil Ketua DPR RI, yang baru-baru ini dinobatkan sebagai profesor. Banyak pihak menyebutkan bahwa gelar ini didapatkan melalui jalur pintas, menimbulkan kekhawatiran mengenai integritas dan kualifikasi pemegang gelar tersebut.
Selain itu, terdapat juga kasus di mana gelar profesor dicabut akibat tindakan-tindakan yang melanggar norma, seperti pelaporan korupsi. Lebih jauh lagi, ada kasus lain yang menunjukkan tindakan tidak pantas oleh profesor terhadap mahasiswa/mahasiswi, seperti kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang profesor di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UHO Kendari, Sulawesi Tenggara. Kasus ini menggambarkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih memerlukan perbaikan dan peningkatan dalam hal pemantauan dan penegakan etika.
Salah satu contoh kasus kontroversial diangkat dalam artikel "Politisi Jadi Profesor, Tak Layak?" oleh Kompas.com, yang mencatat adanya skandal terkait 11 dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, yang diduga mendapatkan gelar profesor secara tidak sah. Sorotan utama tertuju pada Sufmi Dasco Ahmad, yang dinyatakan sebagai profesor dua tahun lalu. Kontroversi ini menunjukkan adanya dua kemungkinan pandangan dari publik: pertama, anggapan bahwa gelar profesor adalah semata-mata gelar karier akademik, atau kedua, keraguan terhadap kualifikasi keilmuan para politisi dalam bidang spesifik.
Kasus lain yang menarik perhatian adalah tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang profesor terhadap mahasiswi di FKIP UHO Kendari. Artikel dari Kompas berjudul "Lecehkan Mahasiswi UHO Kendari, Profesor B Dituntut 2,6 Tahun Penjara" melaporkan bahwa Profesor B diduga melakukan tindakan pelecehan seksual. Kasus ini menyoroti pentingnya sistem screening yang ketat dan penegakan etika di lingkungan pendidikan tinggi, karena gelar profesor seharusnya menjadi simbol keunggulan akademik dan moral.
Dalam pandangan saya, kasus-kasus ini menunjukkan adanya kesamaan dengan perilaku ikan anglerfish yang menggunakan cahaya untuk menarik mangsa di kedalaman laut. Seperti halnya anglerfish, yang menarik perhatian mangsanya dengan cahaya untuk kemudian melahapnya, beberapa individu menyalahgunakan gelar profesor untuk menarik perhatian dan kepercayaan publik, kemudian memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi.
Intinya, gelar profesor harus tetap menjadi gelar yang paling dihormati dan tidak boleh diberikan secara sembarangan. Penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk menerapkan peraturan yang lebih ketat dan sistem yang lebih transparan dalam pemberian dan pengawasan gelar ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H