Lihat ke Halaman Asli

Christopher Lebdo Kusumo

Seminaris Medan Pratama 112

Bintang Paling Terang

Diperbarui: 23 Maret 2024   09:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, langit diselimuti bintang-bintang yang berkelap-kelip, seakan berlomba-lomba menunjukkan siapa yang paling terang diantara mereka bahkan melawan cahaya remang-remang lampu kuning yang menggantung sekitar satu  meter diatas kepalaku. Aku duduk di rooftop SMA yang jika malam berubah seperti layaknya co-working space, memandangi bintang-bintang sementara udara sejuk yang sesekali menabrak badanku terasa sangat sejuk menembus kaus hitam yang baru kupakai lima menit lalu setelah kausku yang sebelumnya kugunakan dibasahi keringat semangatku. Bagiku, suasana ini paling menyenangkan bagiku, menikmati hobi sekaligus pekerjaanku mengedit foto-foto yang baru saja diambil dari acara valentine tadi sembari mendengarkan lagu-lagu yang diputar lewat pengeras suara.

Belum lama aku mengedit tiba-tiba lagu "When she loved me" terdengar dengan lembut. Suasana ini mengingatkanku pada sesuatu, lebih tepatnya seseorang.

Malam itu, aku baru selesai mengikuti acara valentine di gereja. Jam tanganku menunjukkan pukul 20:18 ketika aku membuka pintu rooftop di lantai 4 bangunan SMA itu. Aku menaruh tas laptop dan kameraku, duduk di sebuah bean bag di salah satu sudut rooftop, posisi ternyaman dan terindah dimana aku bisa melihat gemerlap bintang, menara-menara kantor di pusat kota sana, dan menikmati angin yang berhembus. Setelah mendapat posisi yang nyaman, aku meraih kedua tas yang ada di bean bag sebelah kiriku, mengeluarkan laptop dan kamera, menaruh laptop di pangkuanku dan menyalakannya. 

Belum lama sejak aku mulai membuka aplikasi editing dan mulai bekerja dengan foto-foto acara valentine orang muda di gereja yang baru saja selesai, terdengar suara pintu terbuka. Dari balik pintu itu terlihat seorang perempuan yang tingginya tidak jauh berbeda denganku, mengenakan kacamata bulat dengan frame tipis berwarna bening, rambut panjang yang diikat, mengenakan kaus putih dan celana panjang hitam dan sepatu sekolah yang tampak bersih, sangat cocok dengan dirinya yang bermuka bulat dengan pipi chubby dan tak terlalu tinggi.

Mukanya tidak asing bagiku, tapi aku tidak tahu dimana kita bertemu, atau yang seharusnya dipertanyakan adalah apakah kita pernah bertemu?  Perempuan itu mendekatiku dan dengan suara lembutnya bertanya:

 "misi kak, aku bisa ikut duduk disini?" 

"ohh, iya, boleh-boleh." Balasku sementara aku menepuk bean bag yang ada di sebelahku, sebuah reflek untuk mempersilahkan seseorang (biasanya sih, temanku) sambil sedikit menariknya mendekat ke arahku. "Kapan lagi coba, asik-asik kerja, pemandangan cantik, suasana enak, eh, tiba-tiba ada cewe mau duduk di sebelahku, cantik lagi, padahal di sudut lain masih ada tempat duduk kosong."

"Cilla." Ucapnya beberapa detik setelah ia duduk di sebelahku.

"Bimo" balasku yang sedikit terkejut karena tiba-tiba ia menyebut namanya tanpa pendahuluan apapun, jauh berbeda dengan kebanyakan perempuan yang kutemui dalam 16 tahun kehidupanku di bumi ini. 

"Haha, cowok pemberani ya kak?" ujarnya dengan nada bicaranya sambil tertawa kecil, membuatku makin tertarik padanya.

"Ya, gitulah harapan bapak." Jawabku yang terbawa suasana, aku lupa kami baru beberapa saat bertemu.  Aku tersenyum kecil padanya dan dia tertawa kecil, sepertinya kami langsung srek ketika pertama bertemu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline