Lihat ke Halaman Asli

Wacana Bandung: Kendaraan Kota

Diperbarui: 16 Juli 2015   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung, kota kelahiran gw tercinta, merupakan kota yang penduduk setempatnya saja sudah bisa dikatakan padat. Bila ada yang pengen beli tanah kosong di tengah Kota Bandung, itu sama saja mencari tombol f13 di keyboard Anda: nggak akan ketemu. Semua perumahan baru dibuatnya di daerah pinggir kota.

Kebetuan saya tinggal di dekat Riung Bandung, daerah paling timur Kota Bandung (kalau Anda penasaran, cari saja titik pertemuan antara rel kereta dengan Jalan Soekarno-Hatta, tiap kali saya pulang sekolah saya pasti melewati rel tersebut). Waktu saya masih kelas 8, saya masih sering lewat sawah dekat rumah. Sekarang sawah itu berubah menjadi apartemen. Sayang sekali, padahal pemadangan sawah itu selalu indah tiap senja menjelang, terlebih bila tanaman-tanaman padi sudah menguning dan nyaris siap untuk di panen. 

Kota ini juga sudah dicap sebagai kota wisata, yang berarti menjadi destinasti bagi para wisatawan baik dalam kota maupun luar kota. Lihat saja parkiran mallnya tiap malam minggu. Biar makin padat, kami juga kedatangan orang-orang daerah yang bekerja di sini.

Kepadatan penduduk sebenarnya bisa menjadi hal yang bagus, sebab berarti ada lebih banyak penjual dan lebih banyak pembeli, yang berarti perputaran ekonominya di sini sudah kayak sungai di daerah gunung: deras. Problemnya untuk pelajar seperti saya, itu berarti saya perlu mengatur waktu berangkat sekolah saya jauh lebih pagi lagi. Sekedar informasi, saya masuk sekolah pukul 06:45, dan perjalanan ditambah macet, dan segelintir bumbu penyedap lain memakan waktu selama sekitar 45-50 menit. Berarti tiap pagi harus berangkat jam 05:55. Saya punya seorang adik, dan tiap hari ayah saya yang mengantar. Itu berarti ada pergantian kamar mandi. Mereka juga butuh waktu bangun. Maka, tiap pagi, saya harus bangun jam 5:15, untuk sampai pas-pasan di sekolah.

Belum sampai itu saja, kalau sudah pergi sekolah, pasti bakal pulang sekolah (ya iyalah!). Perjalanan pulang sekolah naik angkot bisa memakan waktu jauh lebih banyak lagi, antara 1-2 jam. Kayak keluar kota saja. 

Bila saya saja yang pelajar mengatakan hal tersebut, dapat dibayangkan bagaimana nasib orang tua saya yang kerjanya hampir sama jauhnya dengan letak sekolah saya. Dan mereka itu membuka usaha sendiri: kursus kue. Jadi kemudian terkadang kami membincangkan mengenai masalah transportasi.

Sejujurnya, pemkot sudah memikirkan hal ini. Seperti membuat bus bandros, untuk para wisatawan. Dan bus pelajar, khusus untuk pelajar (tidak menarik biaya sama sekali). Tapi bus sampai saat ini bukanlah alternatif yang bisa menyelesaikan masalah kota saya tercinta, soalnya jalan-jalan di Kota Bandung cenderung sempit. Jalan Riau saja hanya berjumlah dua ruas, Dago juga sama. Pernah sekali terjadi kemacetan gara-gara arus kendaraan menunggu bus yang berjalan di depannya.

Tapi apakah sebenarnya begitu? Padahal, kalau di lihat-lihat lagi, sebenarnya yang bikin macet itu ya kendaraan-kendaraan pribadi yang beredar. Ada begitu banyak orang yang menggunakan mobil dan motor. Padahal orang-orang yang menjadi penumpang (plus supirnya) kebanyakan hanya satu sampai dua orang. Tentu ini sangat memakan tempat di jalanan, bukan?

Selain itu, ada banyak orang yang dengan tidak tertib menggunakan jalan. Kebanyakan dilakukan oleh pengguna motor. Serta angkot. Yah, Bandung, seperti kota lain, memiliki jumlah angkot yang fantastis. Sayangnya banyak sekali dari mereka menyetir dengan cara yang 'supir angkot banget'. Lengkap sudah kekacauan di jalan.

Pengadaan bus di atas sebenarnya tidak dihentikan karena enggak efektif, atau enggak cocok. Dengan bus kecil dan armada yang di operasionalkan dengan optimal, pasti akan menjadi solusi efektif. Melainkan karena saudara tuanya, para supir angkot sendiri yang mendemonya.

Kesimpulannya? Mungkin bukan hanya karena Bandung ini kota wisata, tetapi jauh lebih masuk akal bila karena penduduknya dengan bahagia terus menerus menggunakan kendaraan pribadi untuk berpergian, atau karena supir kendaraan umumnya juga berantakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline