Kota pada awalnya berupa permukiman dengan skala kecil, kemudian merambat ke skala besar dikarenakan pertumbuhan penduduk, perubahan sosial budaya, dan ekonomi, serta terinteraksinya dengan kota atau daerah lain yang berada di sekitarnya. Namun, yang terjadi di Indonesia adalah pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan atau perluasan sarana dan prasarana kota, termasuk permukiman. Permukiman menurut Marlina Suparno, adalah suatu tempat bermukim manusia untuk menunjukkan suatu tujuan tertentu.
Pemukiman memilki 2 arti yang berbeda, yaitu : 1. Isi, yaitu merujuk pada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat yang berada di lingkungan sekitarnya. 2. Wadah, yaitu menunjuk pada segi fisik hunian yang terdiri dari alam dan elemen-elemen ciptaan manusia.
Untuk pengertian permukiman kumuh harus mengacu pada aspek lingkungan huniannya. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk, baik secara fisik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya yang tidak memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuni permukiman tersebut (Laode,2009). Permukiman kumuh juga dapat diartikan sebagai lingkungan hunian atau tempat tinggal, tetapi dalam konteks tidak layak huni yang ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, sarana dan prasarana yang tersedia, fasilitas pendidikan, kesehtan, serta sarana dan prasarana sosail budaya pada masyarakat di lingkungan tersebut.
Salah satu permasalahan permukiman yang terjadi di Kota Blitar adalah masalah permukiman di kawasan karantil, tepatnya di belakang Pasar Legi yang lebih dikenal masyarakat sebagai Kampung Seng. Kampung Seng berada di Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Total penduduk di Kecamatan Sukorejo mencapai 41.247 jiwa dan pada tahun 2017 penduduk Kelurahan Sukorejo mencapai 14.109 jiwa. Padatnya pemukiman tersebut menyebabkan terjadinya kawasan kumuh. Kawasan kumuh secara umumnya adalah kawasan dengan tingkat populasi penduduknya tinggi dengan strata menengah kebawah. Dalam perkembangan suatu kota sangat berkaitan erat dengan mobilitas penduduk. Masyarakat yang mampu cenderung memilih tempat huniannya berada keluar dari kota, sedangkan masyarakat yang mampu akan cenderung memilih tempat tinggal di pusat kota, khusunya kelompok masyarakat urbanisasi yang ingin mencari pekerjaan di pusat kota.
Pemerintah Kota Blitar mempunyai usahsa untuk menangani kawasan kumuh di Kampung Seng adalah dengan menata kembali permukiman sehingga terciptanya permukiman yang ideal. Risna Dewi pada tahun 2011 menyampaikan pendapatnya mengenai karakteristik permukiman kumuh, antara lain:
- Permukiman kumuh dihuni oleh peduduk yang padat, karena adanya pertambahan penduduk yang alamiah maupun kegiatan migrasi yang tinggi.
- Permukiman kumuh tersebut dihuni oleh warga yang berpenghasilan rendah atau berproduksi subsistem atau bisa disebut hidup dibawah garis kemiskinan.
- Perumahan di permukiman tersebut berkualitas rendah, yaitu dalam kategori rumah darurat, yang dimaksud rumah darurat adalah rumah yang terbuat dari bahan tradisional, seperti bambu, kayu, ilalang, dan bahan-bahan cepat hancur lainnya.
- Kondisi dari lingkungan yaitu kebersihan dan sanitasi rendah.
- Langkanya pelayanan kota, seperti pelayanan air bersih, fisilitas MCK, sistem pembuangan kotoran dan sampah serta perlindangan dari kebakaran.
- Pertumbuhan atau pembangunan tidak terencana sehingga penampilan fisiknya tidak teratur dan terurus.
- Secara sosial, lingkungan tersebut terisolir dari permukiman masyarakat lainnya.
- Permukiman tersebut biasanya berlokasi disekitar pusat kota dan seringkali tak jelas pula status hukum tanah yang ditempatinya.
Melihat kondisi permukiman kumuh tersebut di satu sisi permukiman sebagai tempat tinggal kualitasnya semakin menurun dan di sisi lain penghuni yang mempunyai sifat dinamis dan berkembang menuntut kondisi hunian yang layak dan nyaman untuk tinggal sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat di lingkungan tersebut.
Penataan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh bisa dikatakan berhasil jika masyarakat yang berada di lingkungan tersebut sudah merasa puas tinggal di dalamnya dan bisa berkembang dalam meningkatkan kondisi sosial ekonominya (Quality of Life). Penerapan kriteria kepuasan tinggal dikatakan berhasil apa bila terjadi peningkatan kualitas hidup masyarakatnya, sehingga perlu dilakukan analisis terkait kepuasan tinggal dengan kulitas hidup masyarakatnya. Jika kenyamanan telah dirasakan maka kriteria tersebut bisa dikatakan berhasil dan membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas hidup penghuni dari permukiman Kampung Seng.
Kondisi permukiman di wilayah Kampung Seng dapat dilihat dari segi kondisi fisik bangunan, legalitas bangunan, kepadatan bangunan, dan lokasi bangunan. Adanya keragaman tingkat kekumuhan yang dimiliki oleh Kampung Seng di Kelurahan Sukorejo, Kota Blitar, mulai dari lingkungan kumuh ringan dan kumuh sedang turut mempengaruhi keragaman kondisi wilayahnya.
Akses jalan di Kampung Seng, jalan sempit sehingga akses untuk masuk ke permukiman sulit, tidak ada pembeda antara jalan kendaraan dan jalan setapak, fungsi jalan digunakan untuk kepentingan pribadi. Kondisi air di lingkungan tersebut menggunakan air sumur bor yang kurang baik untuk dikonsumsi, air dari PDAM terbatas sehingga hanya dapat mendistribusikan ke sebagian warga di permukiman. Saluran air di Kampung Seng, saluran air hujan (drainase) digunakan juga untuk saluran air limbah rumah tangga. Persampahan, pemilahan sampah di Kampung Seng tidak dipilah secara benar dan TPS dipundah terlalu jauh sehingga masyarakat yang berada di pinggiran kali lahar banyak yang membuang sampahnya ke sungai. Penerangan jalan di Kampung Seng kurang memadai menggunakan daya 450 watt.
Kondisi bangunan dari aspek keserasian yaitu ketidakteraturan bangunan di Lingkungan Kerantil sangat berdampak terhadap kurangnya sirkulasi udara ruangan dan pencahayaan sehingga ruangan menjadi lembab dan ruangan menjadi gelap walaupun pada siang hari. Ukuran ruang dalam rumah sempit dan kondisi dapur, tempat jemuran, dan kamar mandi kurang memadai. Desain bangunan rumah yaitu mengenai tinggi bangunan rumah permukiman kurang memperhitungkan kebutuhan pencahayaan bagi penghuni maupun bagi bangunan di sekitarnya.Kepastian tempat tinggal di permukiman Kampung Seng, tidak ada jaminan tinggal bagi warga yang menempati rumah illegal, rumah illegal tersebut berada di pinggir kali lahar, beberapa rumah ada yang di bangun di atas sempadan jalur kali lahar.
Kondisi ekonomi di wilayah Kampung Seng, warga Kampung Seng mayoritas bekerja sebagai pedagang atau yang berkaitan dengan perdagangan. Hal tersebut didukung oleh lokasi kawasan yang berdekatan dengan Pasar Legi sebagai pasar induk di Kota Blitar. Selain bermata pencaharian sebagai pedagang, di wilayah sekitar Kampung Seng juga terdapat pelaku usaha yang omset perharinya bisa mencapai Rp1.500.000,00 hingga Rp10.000.000,00 sehingga banyak warga Kampung Seng / Permukiman Kerantil yang bekerja sebagai buruh pada pelaku usaha tersebut.