Mungkin kita pernah mendengar bahkan melihat sebuah fenomena di mana seseorang menumpuk barang di kamar atau rumahnya, namun barang yang ditumpuk berbentuk sampah dan tidak lagi berguna bahkan tampak mengganggu aktivitas sehari-hari si pemilik kamar atau rumah tersebut. Sering kali, kita tentu berpendapat bahwa pemilik rumah atau kamar tersebut adalah orang yang malas, kotor, tidak teratur, hingga men-"diagnosa" hoarding disorder, yang erat kaitannya dengan menumpuk barang. Namun, apakah hal tersebut benar adanya? Apakah hoarding disorder hanya sekedar kegiatan menumpuk barang hingga menggunung?
Hoarding disorders adalah salah satu penyakit mental di mana seorang individu menyimpan dan menumpuk barang atau objek dan sukar untuk membuangnya (Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders). Gangguan ini dapat disebabkan oleh pengalaman traumatis atau stressful life events, yang dimulai dari tekanan dalam kehidupan penderitanya. Berbagai penelitian saat ini, diungkap mengenai trauma-trauma tertentu seperti kecelakaan serius, bencana alam, dan kekerasan seksual menjadi penyebab terjadinya gangguan compulsive hoarding (Przeworski, 2014).
Golongan individu yang mempunyai penyakit hoarding ini dikenali sebagai hoarder, yaitu penyimpan barang. Terdapat 3 kriteria penderita hoarding disorder, yaitu kriteria A, B, C, dan D. Kriteria A mengacu pada segala bentuk pembuangan, termasuk membuang, menjual, memberikan, atau mendaur ulang harta benda. Alasan utama dari perilaku ini biasanya adalah kegunaan atau nilai estetika dari barang tersebut. Kriteria B mengacu pada kesengajaan menyimpan harta benda, namun barang diakumulasikan secara pasif sehingga tidak ada tekanan pada penderitanya saat harta benda tersebut dihilangkan. Kriteria C mengacu pada individu yang mengakumulasikan harta benda dalam jumlah besar yang memenuhi hingga mengotori area tempat tinggal. Kriteria terakhir, yaitu kriteria D. Kriteria ini ditunjukkan dengan gejala yang menyebabkan penderitanya mengalami penderitaan secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, hingga fungsi-fungsi lainnya.
Lalu, jika seseorang suka menyimpan benda-benda yang berarti untuknya sudah pasti mengidap hoarding disorder? Berikut diagnosis lebih lanjut mengenai hoarding disorder menurut DSM V.
Kesulitan yang terus-menerus untuk membuang atau berpisah dengan harta benda, terlepas dari nilai sebenarnya.
Kesulitan ini disebabkan oleh kebutuhan yang dirasakan untuk menyimpan barang-barang tersebut dan kesulitan yang terkait dengan membuangnya.
Kesulitan membuang harta benda mengakibatkan akumulasi harta benda yang memadati dan mengacaukan ruang hidup yang aktif dan secara substansial mengganggu tujuan penggunaannya. Jika tempat tinggal tidak berantakan, itu hanya karena campur tangan pihak ketiga (misalnya anggota keluarga, petugas kebersihan, pihak berwenang).
Penimbunan menyebabkan penderitaan yang signifikan secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya (termasuk menjaga lingkungan yang aman untuk diri sendiri dan orang lain).
Penimbunan tidak disebabkan oleh kondisi medis lain (misalnya cedera otak, penyakit serebrovaskular, sindrom Prader-Willi).
Penimbunan tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala gangguan mental lain (misalnya obsesi pada gangguan obsesif-kompulsif, penurunan energi pada gangguan depresi mayor, delusi pada skizofrenia atau gangguan psikotik lainnya, defisit kognitif pada gangguan neurokognitif mayor, minat terbatas pada gangguan spektrum autisme).
Cukup jarang penderita hoarding disorder menyadari bahwa dirinya sudah mengalami gangguan ini sehingga sering kali penderitanya dibawa oleh kerabat atau keluarganya. Karena itu, jika keluarga atau kerabat kamu menunjukkan perilaku yang merujuk pada gejala di atas, ajaklah ia untuk berkonsultasi dengan dokter atau tenaga profesional untuk diagnosis lebih lanjut.