Riuh suara hujan di atap rumah telah memecah hening
Yang kucipta di antara sepi pada malam sunyi
Yang mampu menghamparkan kembali kenangan tentang kelahiran sebuah puisi
Yang hadir menjelang Tahun Baru Imlek 20 tahun silam
Ah, puisi itu memang terlalu berkesan
Hingga setiap tahun melintas dalam ingatanAku adalah penikmat puisi senja
Yang seringkali menjadi saksi kelahiran puisi-puisi indah
Dan Imlek 2025 ini telah mengantarkanku pada sebuah kenangan
Tentang kelahiran sebuah puisi senja nan menawan
Yang selalu melintas setiap menjelang Tahun Baru Imlek
Menjadi bahan perenungan mendalam tentang hidup dan kehidupan
Di penghujung bulan Januari dengan segala misterinya
Ya, sebagian kata-kata itu memang telah tumpah
Dalam balutan warna hijau yang sangat pekat
Pada pembukaan keenam proses kelahiran normal puisi senja
Mengukir satu bait puisi tanpa alur jelas
Hingga Sang Pujangga tergopoh-gopoh merangkainya
Sebelum seluruh kata, membuncah menyusul kemudian...
Senja kala itu benar-benar jingga
Sempurna dengan semburat warna merah darah
Yang tumpah pada lembaran kertas tanpa asa
Hingga beberapa kertas robek tak beraturan
Menampung seluruh kata pada proses kelahirannya
Menorehkan rahasia di atas rahasia
Tentang putaran kehidupan manusia
Sebuah mimpi memang pernah datang sebelum kehadirannya
Seperti berada di alam senja...
Perempuan yang disebut Ibu itu menyaksikan kisah putaran kelahiran dan kematian
Menampakkan tiang langit seolah sirna dalam terang cahaya purnama
Hingga warna jingga seperti menyelimuti alam senja
Dan perempuan itu tiba-tiba saja telah berada di bawah sebuah pohon kehidupan
Tanpa sehelai kain menutupi raga bersama suami tercinta
Kehidupan di sana benar-benar berjalan sangat sistematis
Seperti sistem pernapasan manusia dan sistem lainnya yang ada pada tubuh manusia
Semua berjalan bagai robot milik Tuhan
Tiada rasa apa pun selain keikhlasan
Yang ada hanyalah kepatuhan kepada penciptanya
Dan perempuan yang disebut Ibu itu masih saja terpaku pada dinding ketakjubannya
Sampai ia menyadari, ia seperti memerankan kisah Adam dan Hawa
Ia pun mendengar bisikan suara dengan sangat jelas
Seperti perintah yang meminta untuk merahasiakan apa yang terlihat
Dan demi tidak mengulangi kisah lama...
Perempuan yang disebut Ibu itu menggandeng erat tangan suaminya
Membuat kisah Adam dan Hawa kembali sesuai dengan maksud awal penciptaan
Bersama-sama bergandengan tangan tak terpisahkan
Hingga tak ada lagi celah bagi Iblis untuk menggoda
Nurut, manut, jujur, setia, taat, dan patuh sejatinya adalah sebuah keindahan
Bila keikhlasan menaunginya...
Demikianlah kisah puisi senja itu sebelum dilahirkan
Menjelang Imlek 20 tahun silam
Dan rahasia tentang putaran kehidupan pun terjaga baik dengan senyum terkembang
Sebelum seluruh cerita tuntas dikisahkan...
Seperti halnya buah pada pohon kehidupan...
Yang sepatutnya tidak dimakan sebelum matang sempurna
Akhirnya seluruh kata itu tumpah
Tepat saat senja meninggalkan warna jingganya
Dalam balutan warna hijau pekat...
Dan tak peduli seberapa berdarah proses menuju kelahirannya
Perempuan yang disebut Ibu itu menjaga puisi senjanya tuntas dikisahkan
Dan tak peduli seberapa banyak kertas untuk menampung seluruh kata
Laki-laki yang disebut Ayah itu tetap selalu taat kepada Sang Penciptanya
Untuk menuliskan aksara sinar mulia pada bait terakhir puisi senja
Dan sebagai penikmat puisi senja...
Aku hanya bisa setia dalam penantian
Di dalam keikhlasan yang sungguh sempurna
Riuh suara hujan di atap telah memecah hening
Yang kucipta di antara sepi pada malam sunyi
Menumpahkan sebagian kata-kata untuk mengukir satu bait puisi
Yang tumpah tanpa alur jelas pada lembaran kertas putih
Hingga perempuan yang disebut Ibu itu merangkainya perlahan-lahan
Di samping suami tercinta yang menantinya dengan sabar
Sampai semua kata terangkai utuh sempurna
Agar aksara
sinar mulia dapat diukir pada bait terakhir puisi senja
Dan sebagai penikmat puisi senja....
Aku hanya bisa setia dalam penantian
Di dalam keikhlasan yang sungguh sempurnaBandungan, Akhir Januari 2025
Yang seringkali menjadi saksi kelahiran puisi-puisi indah
Dan Imlek 2025 ini telah mengantarkanku pada sebuah kenangan
Tentang kelahiran sebuah puisi senja nan menawan
Yang selalu melintas setiap menjelang Tahun Baru Imlek
Menjadi bahan perenungan mendalam tentang hidup dan kehidupan
Di penghujung bulan Januari dengan segala misterinya
Dalam balutan warna hijau yang sangat pekat
Pada pembukaan keenam proses kelahiran normal puisi senja
Mengukir satu bait puisi tanpa alur jelas
Hingga Sang Pujangga tergopoh-gopoh merangkainya
Sebelum seluruh kata, membuncah menyusul kemudian...
Sempurna dengan semburat warna merah darah
Yang tumpah pada lembaran kertas tanpa asa
Hingga beberapa kertas robek tak beraturan
Menampung seluruh kata pada proses kelahirannya
Menorehkan rahasia di atas rahasia
Tentang putaran kehidupan manusia
Seperti berada di alam senja...
Perempuan yang disebut Ibu itu menyaksikan kisah putaran kelahiran dan kematian
Menampakkan tiang langit seolah sirna dalam terang cahaya purnama
Hingga warna jingga seperti menyelimuti alam senja
Dan perempuan itu tiba-tiba saja telah berada di bawah sebuah pohon kehidupan
Tanpa sehelai kain menutupi raga bersama suami tercinta
Seperti sistem pernapasan manusia dan sistem lainnya yang ada pada tubuh manusia
Semua berjalan bagai robot milik Tuhan
Tiada rasa apa pun selain keikhlasan
Yang ada hanyalah kepatuhan kepada penciptanya
Dan perempuan yang disebut Ibu itu masih saja terpaku pada dinding ketakjubannya
Sampai ia menyadari, ia seperti memerankan kisah Adam dan Hawa
Seperti perintah yang meminta untuk merahasiakan apa yang terlihat
Dan demi tidak mengulangi kisah lama...
Perempuan yang disebut Ibu itu menggandeng erat tangan suaminya
Membuat kisah Adam dan Hawa kembali sesuai dengan maksud awal penciptaan
Bersama-sama bergandengan tangan tak terpisahkan
Hingga tak ada lagi celah bagi Iblis untuk menggoda
Bila keikhlasan menaunginya...
Demikianlah kisah puisi senja itu sebelum dilahirkan
Menjelang Imlek 20 tahun silam
Dan rahasia tentang putaran kehidupan pun terjaga baik dengan senyum terkembang
Sebelum seluruh cerita tuntas dikisahkan...
Seperti halnya buah pada pohon kehidupan...
Yang sepatutnya tidak dimakan sebelum matang sempurna
Tepat saat senja meninggalkan warna jingganya
Dalam balutan warna hijau pekat...
Dan tak peduli seberapa berdarah proses menuju kelahirannya
Perempuan yang disebut Ibu itu menjaga puisi senjanya tuntas dikisahkan
Dan tak peduli seberapa banyak kertas untuk menampung seluruh kata
Laki-laki yang disebut Ayah itu tetap selalu taat kepada Sang Penciptanya
Untuk menuliskan aksara sinar mulia pada bait terakhir puisi senja
Dan sebagai penikmat puisi senja...
Aku hanya bisa setia dalam penantian
Di dalam keikhlasan yang sungguh sempurna
Yang kucipta di antara sepi pada malam sunyi
Menumpahkan sebagian kata-kata untuk mengukir satu bait puisi
Yang tumpah tanpa alur jelas pada lembaran kertas putih
Hingga perempuan yang disebut Ibu itu merangkainya perlahan-lahan
Di samping suami tercinta yang menantinya dengan sabar
Sampai semua kata terangkai utuh sempurna
Agar aksara