Lihat ke Halaman Asli

Christina Budi Probowati

Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Seperti Bisikan Angin di Malam Itu

Diperbarui: 6 April 2024   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustration by Anak Sosis

Seperti angin di malam itu
Yang tak bisa diam dan terus menebarkan rasa rindu
Berbisik lembut di antara kabut gunung
Kemudian melesap ke dalam hatiku
Mengingatkan sebuah kenangan, tentang surat dari Bapakku
Dan puisi-puisi yang tercipta, di malam-malam sunyi itu
Meskipun aku selalu tersenyum setiap waktu
Kerinduanku pada Bapak, nyatanya telah lama tertahan dalam kabut biru

Seperti angin di malam itu
Bisikan itu benar-benar terdengar merdu
Seirama dengan suara gesekan daun
Yang menggetarkan jiwa nan sendu
Meresap sempurna ke dalam kulit ariku
Menghangatkan jiwaku yang hampir beku
Meskipun Bapak telah tertidur abadi berselimut kabut
Kenangan tentang surat darinya, masih selalu membangkitkan rasa rindu

Malam ini ingin sekali kubacakan puisi untuk Bapak
Seperti bisikan hatiku yang muncul tiba-tiba
Sayang sekali tak kuingat judul puisi itu, apalagi isinya
Hampir saja aku patah semangat dan merana
Di dalam kesunyian yang begitu senyap
Tetapi zaman telah mengubah segalanya
Jejak digital telah mampu melacak puisiku, yang pernah tercipta untuk Bapak
Tentang bisikan angin malam, yang hampir saja aku abaikan

Jika bukan karena kerinduan itu
Tak mungkin kubuka lagi lembar halaman buku kehidupan itu
Tentang surat dari Bapak untukku di masa lampau
Meskipun telah lenyap menjadi abu
Isi dan rasa surat itu, masih saja tersimpan rapi di sudut hatiku
Dan sesekali kubaca, ketika kerinduanku pada Bapak menyapa nuraniku
Bapak memang seorang ayah yang hebat bagiku
Tak pernah mendikte kehidupanku
Ia hanya menjalankan kehidupannya dengan apa adanya dan penuh syukur
Agar aku dapat menyaksikannya dan belajar dari sana

Aku pernah merasa sangat bersalah pada Bapak
Karena menghilangkan sebuah jam tangan pemberiannya
Yang raib setelah satu tahun aku memakainya
Saat aku duduk di bangku SMP dan tinggal di tempat kos  
Rasa bersalah pun kemudian menghantuiku
Menyiksaku di malam-malam sunyi saat mata mulai terlelap
Dan menyergapku di alam mimpi
Sampai aku tak sanggup lagi menanggungnya
Apalagi ketika pikiran buruk mulai muncul ke permukaan
Mulai berpikir teman sekamar mengambil, atau menyembunyikannya

Seperti angin di malam itu
Akhirnya aku tak berhenti merangkai kata untuk Bapak
Merajutnya agar menjadi sebuah surat yang indah
Seraya menenangkan hati untuk membangkitkan keberanian
Mengakui keteledoranku, dan memohon maaf padanya
Hingga keajaiban demi keajaiban perlahan-lahan datang
Setiap tertulis satu kata...
Serasa ada satu rasa yang kemudian terlepas
Ada kelegaan di hati yang mampu mengikis rasa
Yang bernama ketakutan dan juga kecemasan

Seperti angin di malam itu
Rasa di hatiku mondar-mandir tak menentu
Menanti balasan surat dari Bapak sepanjang waktu
Dan aku menjadi seperti angin yang tak ingin berhenti bertiup
Mendesak malam segera berganti waktu
Namun aku hanya bisa menangkupkan kedua telapak tanganku
Berdoa dan juga bersujud
Pasrah menanti jawaban atas doa dan harapanku
Apakah Bapak akan membalas suratku?
Apakah Bapak akan memaafkanku?

Begitu rapi dan indah, mencerminkan sosok penulisnya
Setiap kata dalam surat itu, benar-benar menghamparkan kebijaksanaan
Surat dari Bapak akhirnya benar-benar tiba
Kudekap erat dan kubaca berulang-ulang
Hingga menjadi harta karun yang paling berharga
Yang kukagumi sepanjang perjalanan
Rasa bahagia pun perlahan-lahan mengalir, memenuhi seluruh rongga di dada
Sekali lagi, Bapakku memang seorang ayah yang hebat
Tak pernah mendikte jalan yang kupilih menuju cahaya
Dan selalu percaya, ada pelangi di setiap langkah yang diambil putrinya

Setiap mengingat kenangan itu
Kerinduanku pada Bapak selalu lebur dalam seulas senyum
Betapa bahagianya aku, telah menjadi putrinya
Merasakan aroma keikhlasan yang terselip di dalam surat itu
Juga seluruh kenangan indah, saat-saat bersamanya
Dan malam ini, rasa rindu itu benar-benar memenuhi ruangan di hatiku
Tuhan, mungkinkah kunyatakan mimpi semalam itu?
Membacakan puisi rindu untuk Bapak yang telah tertidur abadi berselimut kabut?
Bolehkah aku membacanya berulang-ulang dengan sepenuh hatiku?
Seperti bisikan angin di malam itu....

Bandungan, 5 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline