Apakah aku membenci waktu?
Kala ia berjalan mundur bersama daun-daun?
Kemudian menghamparkan masa yang telah lalu tanpa persetujuanku?
Sebuah kenangan yang pernah menyakiti dan juga menyayat hatiku?
Menyusul kebencian baru yang kembali datang sesaat setelah itu?
Kebencian dan juga pengkhianatan...
Yang melahirkan dendam tak berujung...
Apakah aku benar-benar membenci Sang Waktu?
Kala ia dengan mantap berjalan ke depan tanpa menghiraukan perasaan hatiku?
Begitu saja meninggalkan kenangan indah yang baru saja kumiliki itu?
Sebuah kenangan dengan sejuta kebahagiaan yang mampu menenangkan angin malam?
Dan Sang Waktu selalu saja begitu...
Di antara kupu-kupu yang menari-nari di hadapannya
Ia selalu saja tersenyum tanpa dosa, dan menggulirkan air mataku...
Aku memang pernah membenci Sang Waktu
Meski tak jarang kekagumanku padanya tak dapat kusembunyikan
Atas kesetiaannya dalam memainkan peran yang diberikan oleh Sang Pencipta Waktu
Hingga dari dirinyalah aku banyak belajar
Tentang bagaimana sepatutnya menerima peran dalam kehidupan
Memainkannya dengan tanpa membaca naskah dari Sang Sutradara
Dan ketika waktu tiba-tiba berhenti, haruskah aku berterima kasih?
Pagi itu putraku sakit keras dan aku tak dapat menemaninya di rumah sakit
Penyakit jantung bawaan, telah menyertai kehidupannya sejak ia dilahirkan
Tetapi, itu tak pernah memudarkan binar indah di matanya
Dan bagiku sendiri, ia begitu istimewa menjadi anak yang dipilih Tuhan
Menjadi pahlawan bagi 1000 bayi yang lain untuk lahir dengan jantung normal
Tentu saja untuk menjaga keseimbangan alam...
Haruskah aku berterima kasih kepada Sang Waktu?
Yang berhenti sejenak untuk memberikan sebuah momen indah?
Sebuah momen ketika putraku datang untuk beberapa saat...
Mengatakan bahwa dunia tak lagi sanggup menyangga tubuhnya...
Kemudian berpamitan dengan santun...
Seraya memberikan senyuman terindah untuk yang terakhir kalinya
Haruskah aku berterima kasih kepada Sang Waktu?
Ataukah malah membencinya karena kembali menggulirkan air mataku?
Membuat aku tergagap dengan situasi yang baru saja terjadi?
Begitu waktu kembali berjalan, tepat saat sang fajar menyingsing pagi itu...
Berita dari rumah sakit tak kunjung tiba...
Dan waktu menjadi terasa begitu lambat...
Haruskah aku kembali membenci Sang Waktu?
Yang memainkan perasaanku di saat-saat yang genting?
Ya, putraku memang benar-benar mengembuskan napas terakhirnya
Ditemani ayahnya di rumah sakit, tepat saat jiwanya usai berpamitan kepadaku
Duniaku pun menjadi sunyi senyap dalam keheningan, sesaat setelah mendapatkan kepastian itu
Dan jiwa yang bebas itu, akhirnya benar--benar telah terbang bersama kupu-kupu beraneka warna
Telah kusiapkan segenap kekuatan jiwa
Tetapi hujan air mata tak lagi dapat dibendung
Telah kusadari sepenuhnya tentang keikhlasan
Tetapi tulang-belulang tak lagi sanggup menyangga tubuh
Beginikah rasanya?
Melepas dan merelakan?
Inikah arti sesungguhnya keikhlasan itu?
Melepas energi yang begitu besar menjauh dengan begitu cepat?
Untuk kembali kepada pemiliknya yang sejati?
Sepatutnya aku melepaskannya dengan perasaan yang sama
Seperti saat-saat kehadirannya yang begitu membuatku bahagia tak terkira
Dan kepada Sang Waktu akhirnya aku mencoba memberanikan diri bertanya
Bolehkah sesekali aku menulis naskah untuk diri sendiri?
Mencoba menggapai bintang-bintang yang pernah aku ciptakan di alam mimpi?
Membuka berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi di dalam kehidupan ini?
Jika Sang Waktu bisa berhenti sejenak untukku...
Mungkinkah Tuhan mengizinkan aku mewujudkan Surga di Bumi?
Dimulai dengan hal sederhana yang sangat ingin kulakukan?
Bersahabat dengan waktu, dan tak lagi membencinya...
Bandungan, 18 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H