Lihat ke Halaman Asli

Christina Budi Probowati

Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Merindukan Perut Buncit, Salahkah?

Diperbarui: 27 Februari 2024   10:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustration by @sinaruci 

Perutnya pernah membuncit
Tetapi tak pernah membuatnya gundah gulana
Apalagi ketika Daun membisikkan rayuan mesra
Bahwa ia mencintainya dengan apa adanya
Dan akan selalu menyuguhkan gelembung embun pagi bercahaya

Perutnya pernah membuncit
Walaupun ia percaya diri, ia tetap menggali sebuah tanya
Sejak kapan ia berubah menjadi si pria perut buncit tanpa disadarinya?
Sejak kapan banyak celana dan bajunya menjadi tak lagi cukup?
Meskipun ia masih leluasa bergerak sebagai tangkai yang kokoh bagi daunnya
Namun ia segera bergegas mencari jawaban pada bayangan daun
Yang perlahan-lahan menghilang di balik wajah senja rupawan

Sore itu, siluet daun yang dibawa sang senja akhirnya benar-benar menghampirinya
Dan pada momen romantis itulah ia mulai mendengarkan suara-suara dari dalam tubuhnya
Hingga akhirnya ia benar-benar tersadar
Telah lama ia membuat tubuh dan pikirannya bekerja keras
Oleh kerakusan dan juga kemalasan
Melupakan hobi berkebun, menyapa daun dan juga berjalan kaki di sore hari
Membuat perutnya menjadi membuncit tanpa ia sangka-sangka

Napasnya selalu terengah-engah
Semua yang dilakukannya serba tergesa-gesa
Oleh karena sebab dari banyak alasan
Bahkan, saat ia mencoba beristirahat dan bersemadi
Ketenangan malah memburunya
Dengan sebuah pamrih yang bernama pencapaian
Dan ia pun kembali kelelahan

Tiba-tiba saja ia memutuskan hanya makan sekali kenyang dalam sehari
Bukan berharap kembali ke berat badan ideal
Tetapi ia mencoba peduli kepada tubuhnya
Seperti Daun yang senantiasa memperhatikan dirinya
Seperti Daun yang selalu setia menghampirinya dengan senyum dan kelembutan
Bahkan, memberikan semua gelembung embun pagi yang dimilikinya
Dengan tanpa sedikit pun pamrih

Empat puluh hari telah berlalu
Makan sekali kenyang dengan penuh kenikmatan telah ia lalui
Ia selalu minum air putih dengan penuh rasa syukur
Dan mengucapkan terima kasih kepada air putih yang diminumnya
Seluruh aktivitasnya pun dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketenangan
Sehingga ia harus merelakan perut buncitnya itu
Menghilang secara perlahan-lahan

Empat puluh hari telah berlalu
Ia kembali makan tiga kali sehari dan minum saat ia dahaga
Dengan tak lagi tergesa-gesa dan juga terburu-buru
Kini, makan dan minum telah menjadi bagian dari aktivitas spiritual baginya
Setiap mengunyah makanan dan meneguk minuman
Dilakukan seirama dengan napasnya
Demikian pula ketika berkebun dan juga berjalan kaki di sore hari
Setelah disadari, kebahagiaan sederhana itu ternyata membuatnya semakin bugar

Berbulan-bulan kehidupan yang menurutnya ideal itu dinikmatinya dengan senyuman
Namun saat Daun mengundangnya pada sebuah pesta bintang
Selama tujuh hari tujuh malam dengan jamuan istimewa
Ia segera melahap segalanya dengan penuh kesadaran dan rasa syukur tak terkira
Ia pun tersenyum ketika perutnya kembali membuncit
Dan begitu menikmati momen saat perlahan-lahan perutnya berubah bentuk
Rasa bahagia pun menjalari sekujur tubuhnya
Tatkala mengelus perutnya dengan penuh kerinduan yang sungguh mendalam
Oh, indahnya dunia...

Perutnya pernah membuncit
Tetapi tak pernah membuatnya gundah gulana
Apalagi ketika Daun membisikkan rayuan mesra
Bahwa Daun mencintainya dengan apa adanya
Dan akan selalu menyuguhkan gelembung embun pagi bercahaya

Bandungan, 27 Februari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline