Lihat ke Halaman Asli

Christina Budi Probowati

Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Konsep Merdeka Belajar Berbasis Budaya yang Berketuhanan yang Maha Esa

Diperbarui: 30 Mei 2023   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Sanggar Tari Sekar Ayu

Pernah gagal, tetapi pena dan kertas akhirnya menjadi senjatanya untuk bangkit. Dan setelah melewati proses panjang kehidupan, alam pun membawanya terlahir kembali menembus batas-batas yang membelenggu kiprahnya dalam dunia pendidikan berdasarkan pendekatan budaya.

Maka pada usia 40 tahun menurut penanggalan Jawa, beliau yang merupakan peletak dasar pendidikan kita, yakni Raden Mas Soeryadi Soeryaningrat melepas gelar kebangsawanannya pada momen tersebut, dengan berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.

Serupa dengan dunia pendidikan kita yang selama ini juga terseok-seok mengikuti perkembangan zaman yang semakin pesat, terobosan baru merdeka belajar juga telah membuat dunia pendidikan kita berganti rupa dengan wajah baru, menjadi lebih dewasa sehingga dapat memberikan kemerdekaan bagi dunia pendidikan, kembali kepada fondasi titik awal berpijak, bahkan menyempurnakannya.

Pendidikan Ideal Warisan Ki Hadjar Dewantara

Pendidikan yang humanis dan populis serta memayu hayuning bawana adalah warisan berharga dari Ki Hadjar Dewantara bagi kita semua. Taman Siswa benar-benar telah mengubah sistem pendidikan perintah dan sanksi warisan penjajah menjadi sistem pamong, hingga melahirkan sebuah karakter yaitu Patrap Guru atau tingkah laku guru sepatut dan sepantasnya dapat menjadi teladan bagi murid dan masyarakat.

Dengan ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah memberi dukungan dan semangat) dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), diharapkan seorang guru dapat melahirkan anak-anak didik yang merdeka serta mandiri, tentang pola memahami, merasakan dan menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupan berdasarkan Pancasila.

Pancasila sejatinya merupakan kristalisasi dari atom-atom nilai moral, spiritual dan juga budaya masyarakat Nusantara. Maka, proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila patut mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

Bagai gemericik air di tanah gersang, kemerdekaan dalam belajar pun akhirnya hadir dan mengajak semua pihak yakni masyarakat umum, mahasiswa/i, tenaga pendidik, pegiat pendidikan, pegiat seni budaya dan para blogger untuk bergerak bersama menyukseskan kurikulum merdeka belajar, agar pendidikan yang ideal bagi negeri kita tersebut dapat mengalir tanpa hambatan.

Sebagai bangsa gunung sekaligus bangsa laut, kurikulum merdeka belajar diharapkan dapat membuka ruang selebar-lebarnya untuk pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing, sesuai dengan era, tanpa meninggalkan tradisi dan budayanya.

Industri boleh saja berkembang dengan pesat, namun kehidupan agraris yang spiritualis bagi yang tinggal di gunung, demikian juga dengan kehidupan perikanan dan kelautan bagi yang tinggal di laut, sepatutnya mendapatkan perhatian dan terus dikembangkan melalui pendidikan, agar jati diri bangsa sebagai bangsa gunung dan bangsa laut tidak hilang ditelan kemajuan zaman.

Sepercik Warna dari Sekar Ayu
Pendidikan berbasis kebudayaan yang digagas Ki Hadjar Dewantara ternyata memang tidak hanya menjadi alat untuk perjuangan melalui pendidikan menuju kemerdekaan bangsa, namun juga merupakan sebuah fondasi yang tepat bagi pendidikan di tanah air kita yang memiliki ribuan budaya.

Tradisi dan budaya sebenarnya adalah wujud dari jati diri bangsa. Bila budaya rukun, gotong-royong, hormat-menghormati, dan sopan-santun dalam berbagai aspek kehidupan yang didasari dengan ikhlas tanpa pamrih itu mulai jarang ditemui, dan lebih marak persaingan, menjatuhkan satu sama lain, terjadi perundungan di dunia pendidikan, korupsi, kesenjangan sosial yang terus meningkat dan masih banyak lagi, bisa jadi kita memang sedang berpijak pada fondasi di atas fondasi yang tidak pada tempatnya.

Maka, kebudayaan tentu dapat berperan sebagai kompas untuk menemukan di mana posisi kita berpijak sekarang. Jika memang tidak pada koordinat yang tepat, kita semua bisa dengan serentak bergerak mencari di mana kontaminasinya terjadi dan di mana letak sumbatan yang menghambat alirannya, mulai dari hulu hingga ke hilir, kemudian bersama-sama mencari solusi yang bijaksana serta membahagiakan melalui dunia pendidikan, seperti yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara.

Mengusung slogan “Ikhlas tanpa pamrih”, Sanggar Tari Sekar Ayu pun pernah mencoba memercikkan sedikit warna pada perjalanan pendidikan melalui kegiatan seni dan budayanya.

Sejalan dengan cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara, Sekar Ayu pun memberikan dasar keikhlasan yang tanpa pamrih baik lahir maupun batin melalui konsep menari untuk Tuhan, dan menuntun anak didik sanggarnya, yang seluruhnya adalah anak putri, menuju ke puncak kebahagiaan sesuai kodratnya, dengan menerapkan falsafah (pandangan hidup) dari budaya di mana mereka tinggal.

Selain itu, Sekar Ayu juga menjalankan konsep pengajaran dan pendidikan yang saling melengkapi, yakni guru adalah murid dan murid adalah guru, dengan diasah, diasih dan diasuh oleh 3 pamong, yakni pamong budaya, pamong sanggar, dan pamong tari.

Foto: Dokumentasi Sanggar Tari Sekar Ayu

Karena sejatinya yang memberi itu adalah yang diberi, dan yang melayani itu sejatinya yang dilayani, maka konsep keikhlasan yang mendasari segala aktivitas di Sekar Ayu pun hadir untuk membangun sebuah kesadaran bahwa sejatinya guru yang terbaik memanglah pengalaman, dengan Alam sebagai pendidik sejatinya.

Maka, baik anak didik sanggar maupun para pamong, sejatinya sama-sama belajar sepanjang hayat dari pengalaman ketika berproses bersama dalam satu kesatuan bagaikan sebuah keluarga.

Ritual Latihan Menari di Sekar Ayu
Senantiasa melakukan perbaikan kualitas manajemen, pada akhirnya ritual latihan rutin di Sekar Ayu adalah sebagai berikut:

Pada hari Minggu pagi, anak-anak didik sanggar mulai berdatangan pada pukul 09.30 WIB. Bagi anak yang datang lebih awal nantinya akan turut mempersiapkan latihan dengan berdiri di depan menyambut anak-anak lainnya seraya bersalaman dan mengingatkan untuk menata alas kaki serta merapikan tas setelah mengambil jarik, stagen/kendit dan sampur dari dalam tas.

Untuk anak didik sanggar yang sudah terampil mengenakan jarik, mereka akan langsung mempersiapkan diri secara mandiri kemudian mengikuti arahan pamong tari untuk menari di depan anak-anak yang sedang menunggu giliran dipakaikan jarik oleh pamong sanggar bersama tim.

Dan tidak ada istilah ketinggalan materi bagi anak yang berhalangan hadir. Karena meskipun sebuah sanggar tari, visi dan misi utamanya bukanlah untuk membuat anak didiknya menjadi pintar menari, tetapi lebih pada pendidikan karakter dengan belajar bersyukur kepada Sang Pencipta melalui kegiatan menari.

Setelah siap, semua berdiri dengan posisi melingkar. Biasanya pamong budaya atau pamong sanggar memberikan pengarahan tentang filosofi budaya dan tata krama selama latihan, seperti untuk berjalan pelan-pelan setelah mengenakan jarik juga berbicara dengan lebih lembut.

Foto: Dokumentasi Sanggar Tari Sekar Ayu

“Selamat datang di Sekar Ayu. Sekar Ayu berasal dari kata sekar dan rahayu yang berarti bunga di puncak kebahagiaan. Maka, kita semua di sini bersama-sama belajar untuk menjadi bunga (sosok) yang indah dengan senantiasa menyelaraskan pikiran, hati, ucapan dan juga perilaku dengan ikhlas tanpa pamrih yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Setelah pengarahan selesai, pamong tari pun kemudian mengambil alih pengasuhan dan memulai latihan menari dengan berdoa bersama, membacakan Pancasila dipimpin oleh salah seorang anak didik sanggar dan menyanyikan lagu Indonesia Pusaka atau Indonesia Raya 3 stanza. 

Kemudian dilanjutkan dengan sesi pernapasan dan pemanasan sebelum memasuki latihan inti menari dibantu oleh pamong sanggar dan juga tim.

Foto: Dokumentasi Sanggar Tari Sekar Ayu

Pada momen istirahat, selalu dikondisikan agar semua duduk melingkar bersama untuk minum, menikmati makanan ringan dan bercanda.

Foto: Dokumentasi Sanggar Tari Sekar Ayu

Tradisi membuat karya seni berupa gambar, puisi, maupun surat pada peringatan Hari Anak, Hari Ibu, Hari Ayah dan Hari Guru telah berjalan baik di Sekar Ayu dari tahun ke tahun. Biasanya dilakukan pada saat jam istirahat dengan tambahan waktu, untuk nantinya diberikan kepada orangtua dan juga guru mereka di sekolah.

Foto: Dokumentasi Sanggar Tari Sekar Ayu

Setelah latihan selesai, seluruh anak pun dikondisikan untuk melipat jarik dan menggulung kendit secara mandiri, namun apabila ada kesulitan yang lain dapat membantu dengan tetap fokus dan menikmati aktivitasnya.

Ritual latihan menari ini tak hanya diterapkan untuk anak didik Sekar Ayu saja, tetapi juga diterapkan kepada murid tamu yang datang. Seperti beberapa sekolah dengan beragam kepentingan yang berkaitan dengan aktivitas seni budaya, contohnya: program Outdoor Learning, yakni belajar menari dan memainkan gamelan, pembuatan sendratari untuk apresiasi sekolah maupun untuk lomba, program study tour dari salah satu SMA di Swiss, dan juga proyek seni dari beberapa universitas dalam negeri.


Murid tamu asing dari berbagai negara pun juga pernah belajar menari di Sekar Ayu, dan biasanya akan belajar tarian dasar dan pendalaman filosofi selama sekitar 5 hari.

Sekar Ayu yang memegang prinsip "Berawal dengan keikhlasan, berproses dengan keikhlasan dan berakhir dengan keikhlasan bersama denganNya dan demi untukNya pula", maka ketika pandemi merebak pada 2020, latihan rutin pun kemudian berakhir pula dengan keikhlasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline