Lihat ke Halaman Asli

Christina Budi Probowati

Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Ketika Estelle Perrin Mencoba Menjadi Perempuan Jawa

Diperbarui: 11 Mei 2021   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Inilah sepenggal kisah tentang perjalanan sebuah sanggar tari yang berada di tempat terpencil, tatkala Alam membawa sosok Estelle, seorang gadis dari Perancis yang datang kepadanya, untuk belajar menari dan mendalami kebudayaan Jawa. Kala itu, pandemi sama sekali belum menyapa siapa pun, karena kisah ini terjadi dua tahun silam, tepatnya bulan Maret 2019.


Pada awalnya, Estelle datang ke tanah Jawa sebagai sukarelawan di bidang lingkungan hidup. Dari tempat kampnya di Gedong Songo-Jawa Tengah, ia pun mendapatkan informasi dari seseorang yang bernama Pak Roji, mengenai sebuah tempat di mana ia bisa belajar secara gratis tentang kebudayaan Jawa.


Bagai tertiup angin nan lembut, Estelle pun akhirnya menembus dinginnya kabut Gunung Sakya untuk datang pada sanggar tersebut, dan selama lima hari berturut-turut intens belajar menari dan mendalami kebudayaan Jawa.


Di pendopo dari kayu jati, tempat sanggar tari yang melestarikan akar budaya Jawa ikhlas tanpa pamrih itu berada, di sela-sela istirahat latihan menari, ia pun mengatakan dengan wajah sumringah bahwa ia telah merasa menemukan jati dirinya.

Menurut Estelle, ia memang meninggalkan negara asalnya dan berkunjung ke berbagai negara, untuk melihat dunia dan kebudayaan-kebudayaannya, karena di negara tempat asalnya, ia tidak bisa memahami, merasakan dan bahkan mengenali dirinya sendiri.

Setelah berkunjung ke berbagai negara di benua Eropa dan Amerika, ia pun datang ke benua Asia sebagai destinasi terakhirnya, untuk menjadi sukarelawan selama tiga bulan di beberapa negara.

Dan ia pun akhirnya memahami arti bersyukur yang sesungguhnya, karena melihat dengan nyata kehidupan masyarakat Asia, yang masih bisa tersenyum, juga bahagia meskipun dalam keadaan ekonomi yang terbatas, dibandingkan dengan negara maju yang telah memiliki kecukupan ekonomi memadai.

Menurut Estelle, ternyata dunia memang penuh dengan kebudayaan yang mengagumkan, karena di situlah akhirnya ia dapat merasa menemukan jati dirinya.

Ia pun akhirnya menyimpulkan, bahwa meskipun kita memiliki banyak perbedaan, sebagai manusia, kita tetaplah sama di dalam kesatuan yang damai.

Di sanggar tari itu, ia merasa tak sekadar belajar menari. Konsep menari untuk Tuhan dengan dasar ikhlas tanpa pamrih telah mengantarkannya lebih jauh mendalami falsafah hidup Jawa, dengan mengalami langsung aktivitas budaya melalui tariannya, berikut filosofinya yakni, empat unsur dalam Joged Mataram, sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh.

Di sanggar tersebut, sawiji berarti satu atau bersatu yang dimaknai sebagai bentuk fokus dan konsentrasi total menyatukan pikiran, hati, jiwa dan raga ke dalam tarian yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan filosofi beksan dengan dasar ikhlas tanpa pamrih.

Greged memiliki arti semangat yang membara namun tetap terkendali. Sengguh, meskipun berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tinggi hati, dalam Falsafah Joged Mataram dimaknai sebagai bentuk percaya diri namun tetap dengan kerendahan hati. 

Dan ora mingkuh adalah bentuk teguh pendirian dan tidak goyah dalam menjalankan ketiga unsur di atas, serta tidak menghindar dari tugas yang diterima sebagai bentuk pengabdian total kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dok. Sanggar Tari Sekar Ayu

Estelle pun jatuh hati dan mengagumi kebudayaan Jawa, khususnya ikhlas tanpa pamrih. Dan di malam saat ia menarikan Tari Rantaya Putri dengan didampingi dua anak didik sanggar tersebut, semua mata yang menyaksikannya pun dibuatnya terpesona. Ia tampak anggun dalam balutan dodot prada mas, disempurnakan dengan untaian bunga melati yang menghiasi rambutnya.


Bagi Estelle, konsep menari untuk Tuhan dengan ikhlas tanpa pamrih di sanggar itu, bukanlah sebuah teori, tapi lebih pada sebuah cara dalam hidup.


Sejatinya, dengan mempraktikkan ikhlas tanpa pamrih ke dalam kehidupan sehari-hari yang ditujukan kepada Sang Pencipta, secara alamiah manusia memang akan lebih mengenali dirinya, dan menyadari sepenuhnya dari mana sebenarnya ia berasal, menyadari bagaimana seharusnya menikmati perjalanan hidupnya, dan menyadari ke mana pada akhirnya akan kembali pulang, dalam arti yang sesungguhnya.


Malam yang syahdu di bulan Maret itu benar-benar menampakkan keindahannya, tatkala seorang murid tamu asing mempraktikkan falsafah hidup orang Jawa selama belajar dan mendalami budaya Jawa, kemudian memancarkan cahaya keikhlasan dalam gerak gemulai saat ia menarikan tarian yang dipelajarinya itu.


Cahaya keikhlasan pun kemudian berpendar dengan sempurna, di antara janur kuning yang menghiasi tiang penyangga pendopo dari kayu jati malam itu. Keikhlasan, sejatinya memanglah kemerdekaan, dan kebahagiaan yang hakiki tentu dapat direngkuh dengan sempurna, dengan menyadari dan merasakan apa itu yang namanya kemerdekaan, serta mensyukuri hal-hal yang terkadang tak terpikirkan, yakni keikhlasan saat melakukan apa pun.

Estelle bagaikan bintang yang hidup malam itu, kesan dan pesan yang mendalam pun ia tinggalkan untuk kita sebelum kepulangannya ke Perancis. Karena kehadirannya, ternyata sekaligus mengingatkan kepada kita semua, bahwa sebenarnya kita masih memiliki warisan budaya yang sangat bernilai, yang tentunya layak untuk kita jaga dan kita lestarikan.

Lereng Sakya, Mei 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline