Ketika kehilangan merenggut segalanya
Dan hidup bergantung pada pucuk daun akasia
Embusan angin dari arah barat daya pun merobek keheningan malam
Yang berujung penyerahan diri total
Hingga harapan kembali menjadi hampa
Tergilas oleh roda kehidupan
Yang terkadang berjalan sangat cepat, meski di waktu yang sama, berjalan perlahan tanpa daya
Hari itu, jiwa hamba bergelantungan pada pucuk daun akasia
Beban tak lagi mengkhawatirkan segenap rasa yang tertumpah
Karena jiwa hamba lembut dan seringan kapas
Membuat hamba masih melekat pada pucuk daunnya
Ketika sang bayu berembus kencang menghempas segalanya
Di bawah warna jingga sang senja
Menyapu debu kosmik yang membuat kusam lukisan alam nan indah
Hari itu, jiwa hamba berjalan pada senja yang terbalut kesunyian
Keheningan pun mengikuti dan menyempurnakan rasa sepinya jiwa
Telah lama hamba mencari bagian diri yang hilang
Saat sang senja merenggutnya di sebuah jalan di kota Malang
Menjadikan yang asli dari diri hamba tak lagi ada
Topeng-topeng pun menghiasi rupa jiwa yang hilang tanpa sedikit pun asa
Yang tertinggal hanyalah satu pertanyaan, "Siapakah hamba?"
Kata-kata dalam ingatan pun perlahan memudar
Bersembunyi di balik setiap ejaan
Membawanya pada kerumitan baru untuk mengungkap makna yang tersembunyi
Meski terangkai indah tanpa ujung, hamba akan selalu mencoba untuk mengurainya
Karena bagi hamba, itu adalah nilai yang dihargai dalam estetika sebuah tulisan tentang alam jiwa
Hingga setiap kata yang memudar, tetap memberikan jejak rasa yang indah
Pada saat yang sama, hamba pun menyelami lautan rasa dan alam pikiran
Semakin jauh dan semakin dalam tanpa ada yang mengendalikan
Hingga jiwa hamba semakin jauh pergi
Kemurnian dan keaslian itu lenyap dalam sekejap
Yang tersisa tetap saja satu pertanyaan
Tanpa jawaban dan kepastian
Karena ia selalu saja bersembunyi di balik ejaan kata yang rumit dan menjebak
Dan bergetarlah doa hamba pada suatu malam yang indah
Semesta seolah mendengarnya dengan seksama
Ketika hamba panjatkan dengan mata terpejam dan dengan menutup telinga rapat-rapat
Hanyut dalam secercah cahaya yang masih tersisa di dalam diri hamba
Menggugah keikhlasan
Menerima semua kehilangan
Mencoba mengembalikan detak jantung yang sempat terhenti
Namun pertanyaan itu tetap saja berakhir membentur dinding pikiran
Hingga angin berhenti bernapas
Jiwa terasa tenggelam dalam lautan tanpa batas
Membuat hati menangis teriris di dalam kesedihan
Seperti selembar daun akasia yang hampir melayang jatuh di tanah gersang
Sebelum fajar jingga menemukan kembali jiwa yang hilang
Mendekapnya di dalam pelukan yang hangat, dengan tanpa pamrih
Di dalam Tuan
Sayup-sayup terdengarlah suara dari jauh di dalam diri hamba
Hamba berlari mendekat tapi tak menjumpai Tuan
Hamba berlari menjauh, semakin jauhlah hamba dari Tuan
Hanya kepasrahanlah yang tersisa
Merobek tirai yang menutup cahaya di dalam diri hamba
Membuatnya kembali bersinar, menerangi jiwa lemah tak berdaya
Waktu itu jalanan kota setenang hutan
Sepasang mata bidadari bersinar di langit senja yang berselimut cahaya jingga keemasan
Mengintai setiap gerak jiwa-jiwa
Yang berusaha melepaskan diri dari kegelisahan
Hingga mencapai puncak rasa
Dan lepas dari raga secepat kedipan mata
Cahaya itu memang hampir padam
Kegelapan nyaris melenyapkan jiwa yang selangkah lagi sampai kepada kemurnian
Satu dari sejuta kejadian dalam putaran waktu yang sangat panjang
Sepasang mata bidadari itu pun akhirnya datang tanpa sedikit pun keraguan
Menopang raga tanpa jiwa melanjutkan perjalanannya
Membuat cahaya di dalam jiwa kembali menyala dengan terang