Riska, seorang gadis malang, punya ayah gemar menguntit perempuan di lingkungan mereka tinggal. Suatu hari ia naik pitam saat melihat ayahnya membuntuti seorang wanita yang tak lain adalah rekan kerjanya. Sesampai di rumah Riska marah seperti orang kesurupan, sesekali dia menarik rambutnya tanda dirinya frustasi.
Ayahnya bernama Suparno terdiam membisu dengan aksi brutalnya itu. Namun sang Ayah dengan wajah tertunduk pergi tanpa sepatah kata apa pun."Aku malu punya ayah sepertimu!" ucap Riska menahan geram. Suaranya menggelegar di sore hari membuat tetangga, orang lalu lalang bahkan penjual keliling ikut nimrung mendengar.
Gadis itu tak peduli dirinya menjadi tontonan lingkungan sekitar. Amarahnya tak bisa lagi dibendung. Sejak bercerai dengan isterinya, Suparno menjadi duda kelayapan mencari wanita. Ia menghibur dirinya dengan membuntuti wanita incarannya.
Entah apa yang membuat dirinya menjadi begitu rendah. Jika sang wanita menolak dirinya, ia akan berteriak memaki wanita itu. Demi meluapkan rasa kesal, ia menjadi kesetanan. Berbuat apa saja yang penting wanita pujaan hatinya menjadi kesal.
Parno menyusuri jalan berdebu dengan kereta bututnya. Ia tak ingin berhenti untuk singgah di suatu tempat. Ucapan anak gadisnya masih terngiang di telinga. Riska anak semata wayangnya selalu protes dengan apa yang ia lakukan. Anak durhaka itu telah merusak suasana hatinya. Padahal ia akan kencan malam ini dengan janda muda yang baru tadi pagi kenal di warung Jarwo.
"Riska dan ibunya sama saja perilakunya," rutuk pria berumur 55 tahun itu. Sesaat ia tertegun, ia bingung mau ke mana. Perutnya mulai ribut tapi ia tak ingin pulang bertemu dengan Riska. Anak itu pasti ceramah panjang lagi, pikirnya. Ia pun mengurungkan niat pulang ke rumah dan kereta melaju ke arah perjalanan cinta. Hatinya telah dipanggil oleh janda muda untuk datang ke warung Jarwo.
Dari kejauhan ia melihat siluet janda itu dari remangnya lampu warung Jarwo. Parno tersenyum kegirangan melihat sang kekasih sudah duduk menunggu di warung Jarwo. Lampu kereta sengaja ia padamkan untuk mengejutkan wanita itu.
Parno menghentikan keretanya, saat perempuan yang duduk di warung itu membalikkan badannya. Itu bukan kekasihnya tapi anak gadisnya yang bawel. Keringat dingin Parno melihatnya, ia langsung memutar keretanya. Balik arah menjauh tempat itu.
Mulut Parno tak berhenti mengucap sumpah serapah sepanjang jalan. Apa yang di lakukan anak itu di sana? Apa dia membuntutiku? Baiklah, aku harus berikan dia pelajaran. Aku bukan anak kecil. Dia sudah lupa posisinya sebagai apa di keluarga.
Rasanya tak pantas mencampuri urusan orangtua. Aku muak didikte! Parno semakin berani mendatangi rumahnya. Parno akan membicarakan haknya untuk menentukan sikap dimana saja ia berada.
Sesampai dirumah, ia langsung membuka tudung saji. Lauk apa yang di masak anak gadisnya. Ia kaget diatas meja tak satu pun lauk terhidang. Perutnya kembali keroncongan, kali ini semakin keras. Parno semakin gusar. Lalu melempar tudung saji kelantai hingga menimbulkan suara ribut. Tiba-tiba Riska muncul, wajahnya kaget melihat sangi ada di lantai. Diliriknya sang ayah yang masih berdiri mematung, akhirnya ia mengerti.