Lihat ke Halaman Asli

Christina

Mahasiswa

[Puisi] Nafas Terakhir Sang Bumi

Diperbarui: 24 Agustus 2023   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di taman yang dulu hijau dan subur,
Kini tinggal reruntuhan dan luka yang terkulai.
"Nafas Terakhir Sang Bumi" terdengar dalam senyap,
Sebuah jeritan kehancuran yang tak terelakkan.

Pohon-pohon yang dulu gagah berdiri,
Kini rimbunnya tak lagi terlihat, telah pupus lenyap.
Sungai yang dulu mengalir jernih dan riang,
Kini berubah menjadi kuburan limbah dan kesedihan.

Langit yang dulu biru dan cerah,
Kini diselimuti kabut asap dan kegelapan.
Burung-burung yang dulu bernyanyi riang,
Kini hening, terlupakan dalam deru kehancuran.

Laut yang dulu memeluk pantai dengan lembut,
Kini marah, memuntahkan sampah dan racun.
Nafas terakhir sang bumi terasa semakin lemah,
Dari setiap hembusan angin yang penuh dengan tangisan.

Kita adalah penjaga, tetapi kita juga pelaku,
Merusak dan mengambil tanpa henti.
Tapi masih ada harapan dalam gelap yang menyelimuti,
Untuk merangkul perubahan, menyembuhkan luka yang kini meradang.

Mari bersama-sama, hentikan langkah kehancuran,
Sebelum nafas terakhir sang bumi benar-benar terputus.
Bersatu dalam usaha, pulihkan kehidupan yang terluka,
Agar alam bisa bernafas lega dan mengembalikan keindahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline