By Christie Damayanti
Berinteraksi dengan penyandang disabilitas, termasuk sebagai komunikasi. Tetapi berinteraksi lebih kepada sentuhan dan gerakan. Komunikasi lebih kepada berbicara. Mungkin aku salah, karena ini Cuma konsepku saja.
Tetapi yang jelas, selama kita saling berinteraksi walau tidak bisa saling berbicara, otak kita akan berdenyut, mengharapkan sensasi semangat. Misalnya, ketika aku tidak bisa berinteraksi kongkow dengan teman2, aku berinteraksi lewat medsos, dimana medsos tidak saling berbicara, tetapi berintearksi dengan tulisan2ku.
Ketika berinteraksi menghasilkan semangat karena bergerak dan saling bertegur sapa, tidak demikian denan komunikasi. “Bahasa” yang bagaimana yang bisa kita tampilkan dengagn disabilitas, karena antar merekapun bisa terjadi bahasa2 yang berbeda.
Misalnya,
Bagi disabilitas rungu, tampilan bahasa mereka adalah ‘bahasa isyarat’, dimana yang tidak mengerti bahasa isyarat, tidak akan bisa berkomunikasi dengagn mereka. Bahasa isyarat bisa dipelajari, tergantung kemauan.
Bagi disabilitas netra, tampilan bahasa mereka pun bukan hanya berbicara secara lisan, tetapi jika komunikasi secara tertulis mereka harus bisa berbahasa dengan huruf Braille. Dan jika andaikan disabilitas netra dan disabilitas rungu, bagaimana yang terjadi?
Disabilitas netra bisa secara lisan berbicara, tetapi disablitas rungu tidak bisa mendengar pembicaraannya. Atau sebaliknya, disabilitas netra tidak bisa melihat bahasa isyarat ketika disabilitas rungu memperagakannya.
Ribet? Memang …..
Tetapi judtru inilah seninya. Aku hidup di tengah2 kaum disabilitas. Dimana aku mempunyai banyak sahabat disabilitas rungu dan banyak sahabat disabilitas netra, tetapi antar mereka sendiripun sudah terjalin persahabatan.