By Christie Damayanti
Ketika aku menjadi seorang disabled karena deraan stroke berat yang aku alami di Januari 2010 lalu, aku semakin mengerti bahwa mereka (aum disabilitas) sangat rentan dari semua jenis ‘keterpurukan’. Bisa dibayangkan, ketika kita terbatas untuk bergerk karena kelumpuhan kaki, atau tangan atang lumpuh separuh seperti yang aku alami, atau menjadi seorang tuna netra atau tuna rungu, atau berbagai macam disabilitas2 yang ada, akan sangat sulit lita untuk berinteraksi palagi berkarya.
Jika disabilitas itu memang sejak kecilbahkan sedari lahir, mungkin mereka tahu bahwa ‘orang2 disekeliling mereka’ itu, sama denga mereka (karena mereka tahu sejak lahir/kecil terbatas karena cacat mereka). Dan mereka mungkin justru tumbuh dengan tekad yang kuat untuk bisa mandiri.
Tetapi ketika kita menjadi cacat karena kecelakaan, serangan stroke atau tiba2 mengalami kebutaan karena serangan penyakit, dan bahkan kita sudah dewasa dan pernah menjalankan hidup yang nyaman dalam pekerjaannya seperti aku ini, sungguh, tidak gampang untuk tetap semangat bahkan hanya sekedar untuk hidup …..
Disabled2 muda Indonesia cukup banyak, juga orang2 dewasa yang harus menjadi disabled. Termasuk aku sebagai disabled dewasa,aku semakin mengerti apa yang harus aku lakukan untuk memompa dan tetap semangat dalam hidup. Apalagi orang2 dewasa yang harus menjadi disabled, dimana mereka sudah mempunyai keluarga, pekerjaan bahkan mempunyai aset2 inventaris mereka. Dan mereka sangnat terpuruk, ketika ternyata kecacatan mereka akan membuat mereka banyak bergantung kepada orang lain.
Untuk disable muda, mungkin aku kesampingkan dahulu, karena terlalu luas. Tetapi orang2 dewasa yang harus menjadi disabled ini, masih merupakan orang2 dewasa dalam rentang hidup bekerja antara 30 tahun sampai 50 tahun, yang memang masih produktif. Dan mereka menjadi tidak produktif lagi, ketika lingkungan mendiskreditkan mereka, setelah juga diri sendiri dan keluarga mereka juga melecehkan mereka.
Mendiskreditkan mereka, yang terparah jika mereka justru tidak didukung dengan memecat mereka dan meninggalkan mereka dalam keterpurukan mereka! Belum lagi pelecehan2 untuk mereka dan cemooh dari esama bahkan keluarga, yang membuat mereka semakin terpuruk!
Kenyataan2 tentang kaum disabilitas seperti ini, sangat membuat aku prihatin. Ketika aku sehat, aku tidak tahu mulai dari mana untuk membantu mereka. Karena sewaktu kita sehat, termasuk aku, hidup kita berada di lingkkungagn orang2 yang sehat, sibuk dan bergumuldengan kehidupan masing2.
Tetapi ketika kita harus menjadi seorang disabled seperti aku, aku akan berada di lingkungan yang sama, dengan kaum disabled, karena teman2 kitasudah melesat sangat jauh, dan kita tertinggal di belakang …..
Itu sangatlah wajar! Tidak aka nada seorang pun yang mau benar2 menunggui kita yang sudah menjadi seorang disabled, untuk bersama2 melakukan yang biasa dilakukan oleh kita. Misalnya, ketika aku masih sehat dengan keadaanku sebagai arsitek lapangan yang bergumul dengan desain dan dunia konstruksi, apakah aku masih dimungkinkan untuk bekerja di lapangan, sementara aku lumpuh ½ tubuh bagian kanan, dan hanya bisa bejalan dengan bergandengan tangan, bahkan sering harus memakai kursi roda?