By Christie Damayanti
[caption id="attachment_169912" align="aligncenter" width="637" caption="Illustrasi dari Google."][/caption]
Salah satu Gereja tua, dahulu disebut 'Nassaukerk', atau sekarang disebut Gereja ( GPIB = Gereja Protestan Indonesia Barat ) Paulus, Menteng, didesain oleh 'FJL Ghijsels' dari AIA Bureau bekerja sama dengan 'Firma Sitzen en Louzada', pada jaman. Sebenarnya, Gereja ini belumlah terlalu tua, menurut fererensi yang aku baca, Gereja Paulus dibangun sekitar tahun 1936, beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka, walaupun masih dalan pemerintah colonial Hindia Belanda. (A.Heuken SJ).
Konsep dan ciri khas Gereja Paulus ini adalah menaranya yang langsing dengan atap piramida runcing, serta 44 jam ( arloji ) dibawahnya, dan sampai sekarang, arloji ini masuk berfungsi. Bidangnya, bujursangkar, dimana merupakan konsep 4 penjuru mata angin besar. Sebenarnya, bagian fungsional seperti jendala, 'bouvenlicht' ( lubang aingin ) serta teritisan dari plat beton, merupakan komposisi tampak bangunan yang konsisten dan profil estetika yang dekoratif pada kolom dan pilaster sangat kuat yang menunjukkan pengaruh arsitektur 'Art Deco' yang elegan.
Denah Gereja Paulus ini, sangat kuat sebagai simpol ke-Kristen-an, yaitu berbentu Salib, yang keempat sisinya adalah sama panjang. Masing2 sayap bangunan ini beratapkan 'pelana' dengan kemiringan yang tajam, seperti rumah2 jaman Belanda di Menteng.
Terlihat, bagian atas adalah jendela 'mozaik' dari kaca berwarna. Jika matahari bersinar, maka jendala 'mozaik' ini menyebarkan sinar berwarna-warni seperti sapaan Tuhan .....
Interior bangunan tetap dipertahankan, sebuah konsep klasik dengan warna dinding putih dan material kayu yang sudah banyak di finish ulang ..... beberapa, aku menyayangkan karena re-finish nya tidak memenuhi konsep re-finish klasik .....
Konsep bangunan ini atau rumah Belanda di Menteng, adalah beratapkan 'pelana' yang kemiringannya diatas 45 derajat. Mengapa? Karena Indonesia memang negara tropis, dimana warga Belanada pada waktu itu merasakan panas yang berlebihan dibandingkan dengan negaranya di Belanda, sehingga mereka menciptakan desain rumah atau bangunan dengan atap tinggi serta banyak lubang angin / ventilasi / 'bouvenlich' untuk 'cross ventilation'. Dimana angin dapat melaju di dalam bangunan, apalagi dengan atap dan plafond tinggi, membuat suhu di bangunan itu menjadi lebih nyaman. Ingat, dulu belum ada AC.
Tetapi jika konsp ini di praktekkan sekarang untuk rumah2, apalagi rumah murah, akan memboroskan dana, karena tinggi dinding rumah bisa lebih sampai 4 atau 5 meter atau lebih, secara tinggi standard dinding rumah sampai plafond antara 2,8 m sampai 3 meter.