By Christie Damayanti
[caption id="" align="aligncenter" width="586" caption="bestdesain.blogspot.com"][/caption]
Sebelumnya : Taman Kota : Bagi Kesehatan Warga Dunia
Sebuah lahan, akan mempunyai batas2 yang boleh dan bisa dibangun. Ada garis sepadan bangunan (GSB), yang merupakan batasan yang boleh dibangun. Ada juga garis sepadan jalan (GSJ), adalah daerah terbuka tanpa bangunan sama sekali.
Garis2 GSB dan GSJ ini, merupakan salah satu cara untuk membangun 'daerah hijau', paling tidak di lingkungan kita sendiri. Fungsinya jelas terlihat, sebagai fungsi HIDROLOGIS, funsi EKOLOGIS, tetapi juga bisa berfungsi ESTETIS secara visual karena bisa dinikmati dari jalan umum.
Antara jalan sampai ke didinding rumah, adalah daerah hijau, dan daerah hijau tersebut bisa membentuk suatu koridor hijau jalan perkotaan. Pemanfaatan ruang antara depan pagar rumah dan jarag GSB seharusnyalah bisa menciptakan keserasian 'landscape' sesuai dengan ketentuan tata ruang dan tata bangunan perkotaan.
Pada kenyataanya, di Jakarta ( rumah2 yang tidak di dalam kompleks real estate ), ruang antara jalan ke pagar rumah ( yag biasanya digunakan oleh trotoar atau pedestrian untuk pejalan kaki ), dipakai sebagai warung2 kecil, atau parkir sepeda motor bahkan mobil. Bukan untuk 'jalur hijau'.
Lalu GSB ( jarak dari ujung lahan pribadi sampai batas awal dinding rumah ), mereka lebih menginginkan sebagai car-port ataupun membangun ruangan baru. Padahal itu justru digunakan sebagai 'daerah hijau'.
[caption id="" align="aligncenter" width="471" caption="bappeda.palangkaraya.go.id"] [/caption]
DAS ( daerah sepadan sungai ) seharusnya seperti ini, dengan jalur pedestrian dan jalur hijau untuk penyerapan. Tetapi apa yang terjadi di Jakarta? DAS di Jakarta, justu dipenuhi dengan gubug2 liar ataupun hanya sekedar tempat sampah dan pedagang2 liar, dan tidak bisa memenuhi perhitungan RTH perkotaan.
Bagaimana dengan karakteristik 'daerah hijau' antara landscape jalan dengan landscae pribadi?