Kemaren 28 November 2020 diperingati sebagai HUT PGRI Ke-75. PGRI menggelar acara secara online dengan tema Kreativitas dan Dedikasi Guru untuk Indonesia Maju. PGRI menyadari bahwa sejak pandemi, mau tak mau tugas guru berubah.
Guru harus kreatif melatih siswa belajar mandiri secara offline dan online. Guru harus mampu menjalankan kegiatan belajar mengajar KBM menggunakan teknologi bagi siswa dengan pantauan orangtua di rumah.
Konsep itu senada dengan Presiden Jokowi yang berpidato online. Bahkan di paragraf pertama pidatonya, Presiden menekankan peranan orangtua sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Orangtua menjadi kunci keberhasilan pendidikan.
Delapan bulan sudah kita ber-homelearning mestinya sudah menyadarkan semua orangtua bahwa guru bukan segala-galanya lagi bagi siswa. Porsi guru semestinya sebagai fasilitator, pemberi tugas, pemberi PR atau pemberi nilai.
Homelearning semestinya menjadi momentum bagi semua orangtua yang cerdas (bukan orangtua yang "bodoh dan masa bodo") untuk mengambil kembali haknya sebagai Guru Utama dan Terutama untuk anaknya di masa pendidikan dasar dan menengah.
Di sisi lain, Mendikbud yang juga berpidato online mengabarkan, banyak orangtua yang tidak sabar menitipkan anaknya kembali ke sekolah karena kelabakan menjalankan homelearning. Nah, orangtua semacam itu perlu disadarkan terutama jika mereka berpendidikan minimal SLTA.
Sebenarnya asal ada kemauan, mereka semestinya mampu membimbing anaknya sendiri belajar TK sampai SMA. Kalau dia tidak mampu, ijazahnya dipertanyakan hahaha.
Sedikit perbandingan, sejak pandemi, jutaan ibu langsung lancar berbelanja online, padahal tadinya gaptek. Mengapa mereka tidak memanfaatkan online untuk pembelajaran anak-anaknya juga?
Problema pertama kacaunya kualitas pendidikan di Indonesia adalah "kemalasan dan masa bodohnya" orangtua untuk terlibat langsung pada pendidikan anaknya. Orangtua nyaman menitipkan anaknya di sekolah formal, membayar uang sekolah dan memberi fasilitas dan les ini itu. Padahal sejak 15 tahun lalu terjadi degradasi kualitas guru sekolah formal, jika dibandingkan kualitas guru Indonesia pada masa lalu, atau dibandingkan dengan guru sekolah Singapura, Malaysia, dan negara lainnya masa sekarang.
Kita berbicara latar belakang kebanyakan guru, baik PNS / honorer, yang kemungkinan bukan passion-nya, tetapi keterpaksaan. Karena itulah, "Guru Umar Bakrie" atau "guru pahlawan tanpa tanda jasa" langka.
Jika kualitas guru demikian, apakah orangtua masih mempercayakan pendidikan anak-anak (yang Anda cintai) kepada guru-guru demikian. Jika anda perduli pada pendidikan anak anda, coba cek kriteria ini , apakah masih ada guru begitu bergentayangan di sekolah-sekolah anak anda?
- Guru yang tidak berdedikasi sehingga sekadar mengajar demi mendapatkan gaji atau honor belaka
- Guru yang cuma memberi PR dan tugas setumpuk tanpa mau dan mampu mendidik siswa secara optimal
- Guru yang membiarkan atau pura-pura tidak tahu jika siswanya mencontek dan berbohong demi nilai
- Guru yang menggadaikan harga diri dengan menjual nilai ke siswa-siswanya dengan berbagai cara
- Guru yang mendiskreditkan Pemerintah dan menghina Pancasila dan meracuni siswa untuk membenci siswa yang berbeda SARA