Popularitas sering menjadi penentu besar kecilnya penghargaan yang diterima seorang atlet. Sebagai contoh, Rahmat Erwin Abdullah, atlet angkat besi yang memecahkan rekor dunia di SEA Games 2023, hanya mendapatkan perhatian yang jauh lebih kecil dibandingkan atlet sepak bola yang bahkan belum berhasil membawa trofi internasional. Hal ini mencerminkan budaya yang lebih menghargai olahraga yang memiliki massa besar dibandingkan dengan capaian yang sebenarnya lebih signifikan.
Sebaliknya, cabang olahraga seperti sepak bola sering kali mendapatkan sorotan media, hadiah besar, dan dukungan publik meskipun hasil yang diraih belum tentu sebanding dengan prestasi atlet di cabang lain. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah nilai prestasi itu diukur dari dampaknya atau hanya dari popularitasnya?
2. Nasib Atlet Setelah Pensiun
Kisah atlet yang jatuh miskin setelah pensiun bukanlah hal baru di Indonesia. Salah satu cerita yang memilukan adalah perjalanan hidup Ellyas Pical, juara dunia tinju pertama dari Indonesia. Setelah membawa nama harum bangsa di kancah internasional, ia terpaksa bekerja sebagai satpam untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Begitu pula Kurnia Meiga, mantan kiper Timnas Indonesia, yang kariernya terhenti akibat penyakit. Setelah pensiun, ia menghadapi kesulitan finansial dan perjuangan panjang untuk bertahan hidup tanpa dukungan yang memadai. Bahkan, banyak atlet lain yang harus menjual medali mereka---simbol perjuangan mereka---hanya untuk bertahan hidup. Kisah-kisah ini memperlihatkan bahwa penghargaan yang diberikan kepada atlet sering kali hanya sementara dan tidak mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang.
3. Penghargaan yang Tidak Berkelanjutan
Atlet sering kali menerima bonus besar saat mereka memenangkan kompetisi, tetapi penghargaan tersebut jarang disertai dengan program berkelanjutan. Tidak adanya perencanaan masa depan yang matang, seperti dana pensiun, pelatihan keterampilan, atau jaminan pekerjaan setelah pensiun, membuat banyak atlet kesulitan beradaptasi dengan kehidupan setelah karier olahraga mereka selesai.
Selain itu, dukungan untuk atlet dari cabang olahraga non-populer sering kali lebih minim. Banyak dari mereka yang harus berlatih dengan fasilitas seadanya, membiayai pelatihan sendiri, bahkan terkadang harus menghadapi diskriminasi ketika berusaha mendapatkan dukungan.
4. Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mengatasi ketimpangan ini, ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil:
Program Dana Pensiun Atlet: Pemerintah dan federasi olahraga harus menyediakan dana pensiun bagi atlet yang telah mengharumkan nama bangsa.
Pelatihan Keterampilan Pasca-Karier: Memberikan pelatihan atau beasiswa pendidikan agar atlet memiliki keahlian lain setelah pensiun.
Pemerataan Penghargaan: Mengapresiasi prestasi atlet berdasarkan pencapaian mereka, bukan popularitas cabang olahraga.
Dukungan Jangka Panjang: Mengembangkan sistem dukungan yang berfokus pada masa depan atlet, seperti asuransi kesehatan dan jaminan pekerjaan.
5. Saatnya Menghargai yang Layak Dihargai
Atlet bukan hanya simbol dari kemenangan; mereka adalah representasi dari tekad, perjuangan, dan pengorbanan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H