Lihat ke Halaman Asli

Peluang dan Tantangan Pemilu Tahun 2024 di Era Digital

Diperbarui: 27 Juli 2023   06:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Seiring dengan berkembangnya teknologi, media sosial menjadi platform efektif untuk menyebarkan informasi. Maraknya berita hoaks yang beredar di internet mengharuskan kita menjadi pribadi selektif dalam menyaring informasi. Isu politik yang mencuat di media sosial dapat dimanfaatkan untuk dapat mengambil suara calon presiden. Menjelang pemilu 2024, terdapat banyak tantangan serta peluang kita sebagai masyarakat Indonesia untuk dapat menentukan suara. Banyaknya informasi yang dapat diakses dari media sosial, kita dapat berpikir secara kritis dengan mengambil dari berbagai sumber terpercaya untuk mengetahui visi serta misi dari calon presiden.

Pada tanggal 25 Juli 2023, MKU Pendidikan Pancasila menggelar kuliah umum dengan tema “Peluang dan Tantangan Pemilu 2024 di Era Digital” bertempatan di Gedung Audio Visual Geise FISIP UNPAR pada pukul 08.30-11.30. Mengundang salah satu narasumber ternama dan berpengaruh besar terhadap dunia digitalisasi menjelang pemilu, yakni Dr. Adiyana Slamet, S.IP., M.Si. sebagai ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Jawa Barat. Bapak Edy selaku koordinator MKU Pancasila membuka kuliah umum dengan menjabarkan perihal maraknya berita hoaks calon presiden 2024 yang tersebar di berbagai platform media sosial. Kemudian, Bintang sebagai mahasiswa jurusan Hukum memberikan sambutan terhadap narasumber serta menjelaskan tentang Isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) dalam kaitannya terhadap penyelenggaraan pemilu. Bapak Adiyana mengawalinya dengan menerangkan bahwa KPID Jawa Barat diamanatkan untuk mengawasi, mengakomodasi, serta mewadahi aspirasi dan menjamin masyarakat dapat memperoleh informasi.

Pada tahun 1996, Jim Macnamara dalam How to Handle the media memberikan gagasan “Ketika menghadapi media, Anda berhadapan institusi yang tidak sempurna bukan tentara yang terorganisir “. Berdasarkan data media sumber informasi terpercaya di Indonesia (Oktober 2021), televisi menempatkan urutan teratas dengan 47%, dilanjutkan dengan media sosial sebesar 22,4%, situs resmi pemerintah sebesar 17,9%, berita online sebesar 8%, tidak akses informasi sebesar 2,9%, media cetak sebesar 2,8%, radio sebesar 0,7%, dan tidak percaya media sebesar 0,4%. Dunia memasuki era baru, sebuah era perubahan besar dan revolusioner yang terjadi hampir tiap 100 tahun sekali. Diawali pada tahun 1784, revolusi industri 1.0 yang bertumpu pada penemuan mesin uap oleh James Watt. Kemudian revolusi industri 2.0 ditandai oleh penemuan listrik oleh Thomas Faraday serta lampu listrik oleh Thomas Alfa Edison pada tahun 1870. Selanjutnya, pada tahun 1969 penemuan komputer dan internet menandai revolusi 3.0. Diakhiri dengan revolusi 4.0 era digital dengan internet super cepat 5G yang bertumpu pada pengolahan Big Data dan kecerdasan buatan.

Pada tahun 2011, Marry Cross berpendapat bahwa “kita semua sudah mengalami efek budaya dari revolusi digital yang sedang berlangsung”. Pada artikel yang berjudul “Generasi Milenial dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat: Komunikasi Politik dan Media Informasi” menunjukkan hasil penelitian bahwa sosial media menjadi sarana untuk mencari tahu informasi yang berkaitan dengan calon gubernur. Juergen Habermas mengungkapkan opininya perihal media sosial merupakan second public sphere. Perkembangan platform media sosial dalam kampanye pemilu diawali dengan penyebaran informasi digital berbasis internet pada tahun 1999 hingga 2009. Kemudian terjadi pertarungan pemilu Amerika Serikat melalui twitter pada rentang tahun 2014 hingga 2019. Selanjutnya pada tahun 2022, terdapat kontroversi pemilu Filipina melalui platform tiktok. Menjadi pertanyaan besar bahwa apakah kecerdasan buatan dapat diaplikasikan dalam penyelenggaraan pemilu pada tahun 2024. Penggunaan media sosial mempunyai dua keuntungan terhadap penerapan demokrasi di Indonesia, diantaranya Democratisting of Access (siapapun di seluruh dunia dapat menggunakan dan mengakses setiap saat) dan Democratisting of Content (media baru memberikan informasi dengan jumlah yang tidak terbatas).

Ruang digital sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam mencari informasi dan diskusi pada kolom komentar atau cuitan di media sosial. Isu politik paling banyak mengandung hoaks atau informasi keliru (69% responden). Selain itu, Facebook menjadi platform paling banyak beredar berita hoaks (63% responden). Berdasarkan data, total temuan isu hoaks oleh Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika (Agustus 2018 hingga 31 Mei 2023) terdapat 11.642 berita bohong, di mana sebanyak 1.370 hoaks merupakan isu politik. Media sosial merupakan sarana yang paling banyak diakses untuk mendapatkan informasi (73% responden) dengan informasi keliru yang 3 kali lebih cepat, mendalam, serta luas berkaitan dengan politik. Media sosial menjadi media paling mudah untuk menyebarkan berbagai informasi. Penggunaan platform yang buruk dapat menormalisasi hoaks sebagai bagian dari dinamika persaingan politik, memenangkan kontestasi pemilu dengan penyebaran hoaks (misalnya isu agama dengan tujuan untuk merebut suara dan menjatuhkan lawan dalam pemilu), serta disintegrasi bangsa akibat hoaks (contohnya konflik antar golongan yang mengancam persatuan bangsa). Tantangan politik digital berupa disrupsi informasi. Jenis disrupsi informasi diantaranya, misinformasi (ketika informasi salah disebarkan, namun tidak dengan maksud menyebabkan kekacauan), disinformasi (ketika informasi salah dengan sengaja disebarkan untuk menyebabkan kekacauan), dan malinformasi (ketika informasi benar disebarkan untuk menyebabkan kekacauan).

Dalam proses politik yang berlangsung, teknologi telah menjadi faktor pemicu disrupsi pada era kini. Platform online terutama media sosial, berpotensi menjadi kanal dalam mempromosikan disinformasi dan memanipulasi opini public. Situasi tersebut dapat memicu keretakan di masyarakat yang berujung pada ancaman terhadap demokrasi. Salah satu alat yang digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan informasi yang disruptif, yakni tentara siber. Secara global, aktivitas tentara siber terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2020, data menunjukkan pada 81 negara terdeteksi memanfaatkan media sosial dalam menyebarkan propaganda komputasi dan disinformasi politik. Angka tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya sebanyak 70 negara. Kerawanan penyelenggaraan pemilu 2024 yakni, semakin tinggi tingkat pengangguran terbuka maka semakin rawan pelaksanaan pemilu di daerah serta tidak ditemukan korelasi antara proporsi penduduk miskin dengan kerawanan pemilu di daerah. Berdasarkan data jumlah pemilih berdasarkan generasi di Jawa Barat DPT Pemilu 2024, generasi Z (17-27 Tahun) menempati urutan ke tiga dengan persentase 20,74%, milenial (25-39 Tahun) berada pada posisi teratas dengan persentase 32,49%, generasi X (40-55 Tahun) pada posisi ke dua dengan jumlah persentase 29,84%, dan pada posisi terbawah Baby Boomer (56-76 Tahun) dengan persentase sebesar 15,43%.

Kiat-kiat dalam bermedia sosial diantaranya, menjadi pribadi yang kritis serta menggunakan insting dalam menjaga lingkungan jagat maya dengan tidak mudah percaya terhadap berita di media sosial. Selain itu juga, kita dapat melaporkan berita hoaks yang tersebar pada platform media sosial melalui fitur report serta bergabung pada komunitas anti hoaks. Kita juga dapat mengklarifikasi setiap berita dengan mengambil informasi dari media terpercaya. Di samping itu, tidak setengah-setengah dalam membaca sebuah berita di media dan semua kiat dapat dimulai dari keluarga maupun lingkungan untuk tidak menyebarkan pesan hoaks. Besarnya potensi yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dengan luas wilayahnya, di mana 75% dikelilingi oleh laut, panjang garis pantai 95.181 km, negara dengan garis pantai terpanjang ke 4 di dunia, terdiri dari 17.440 ribu pulau, 129 gunung berapi, kekayaan alam yang tidak terbarukan, 1128 suku, 746 bahasa, jarak dari sabang sampai Merauke 5.428 km jarak yang sama antara Teheran ke London, melintasi 10 negara Eropa, dan sumber daya manusia dengan jumlah penduduk 250 juta orang sebagai unsur terpenting semuanya ada di Indonesia.

Dalam pandangan Soekarno, Geopolitik Indonesia merupakan satu kesatuan geografis yang melekat pada jiwa bangsa. Potensi Bangsa Indonesia menjadi negara yang besar dan bersaing dengan negara maju lainnya relevan jika melihat resources atau sumber daya yang dimiliki. Jika masyarakat Indonesia tidak peka serta memahami potensi geopolitiknya maka akan tetap jatuh menjadi bangsa “kuli” diantara bangsa-bangsa (“een natie van koelies, en een koelie onder de naties”). Penyair berkebangsaan Jerman, Bertolt Brecht, memberikan gagasan perihal buta politik. Beliau menyampaikan bahwa buta politik merupakan buta terburuk karena melahirkan generasi buruk bangsa serta tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Masyarakat buta politik cenderung bersikap angkuh, padahal dari keputusan politik dapat mempengaruhi harga pangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline