Lihat ke Halaman Asli

Christian

Content Writer

Bedah Buku: Jalan Baru Kepemimpinan dan Pendidikan (Jawaban atas Tantangan Disrupsi-Inovatif)

Diperbarui: 31 Oktober 2020   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Romo Dr. Johannes Haryatmoko, SJ

Jakarta -- Perkembangan teknologi digital menjadi salah satu penanda revolusi 4.0. Di mana hampir semua aspek kehidupan kita dapat terkoneksi dengan sangat cepat dan mudah berkat jasa teknologi tersebut. Belakangan, di saat situasi dunia terdampak Covid-19 teknologi digital mendapat momentum untuk tampil sebagai salah satu aktor penting di panggung pandemi. Aneka platform berbasis internet seolah mendapat ruang bermain yang begitu leluasa; justru ketika banyak orang dipaksa bekerja di rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah.

Demikian pengantar dari Ambrosius Sigit Kristiantoro, M.Pd. sebagai moderator dalam acara Bedah Buku "Jalan Baru Kepemimpinan dan Pendidikan (Jawaban atas Tantangan Disrupsi-Inovatif)", Sabtu (31/10/2020) pukul 09.00-11.30 WIB.

Buku Terbaru Romo Dr. Johannes Haryatmoko, SJ

Buku karya Rm. Dr. Johannes Haryatmoko, SJ ini dibedah oleh sang penulis sendiri melalui telekonferensi Zoom yang dihadiri oleh pengurus, struktural, dan para guru Yayasan Tarakanita se-Indonesia. Selain itu, siapa saja dapat menyaksikan di kanal Youtube Sekolah Tarakanita.

Sedikit tentang latar belakang pendidikan Romo Moko: Beliau lulus S1 Filsafat di STF Driyarkara, menjalani Licensiat Teologi di Brussels, dan lulusan S2 Antropologi dan Sejarah Agama di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis. Beliau meraih double degree doktoral di Universitas Sorbonne untuk bidang Antropologi dan di Institut Catholique de Paris, Perancis, untuk bidang Etika Politik.

Sebagai penulis, beberapa buku yang telah ditulisnya adalah buku-buku di bidang etika politik dan kekuasaan, etika komunikasi, etika publik, etika pendidikan, hingga buku terbarunya yang dibedah hari ini.

Secara garis besar, romo pengajar Filsafat dan Etika di Universitas Sanata Dharma pada hari ini mensharingkan tentang:

  • Konteks periodisasi revolusi industri 4.0 beserta karakteristik dan tantangannya.
  • Konsekuensi apa yang diakibatkan oleh berkembangnya ekosistem platform bagi model kepemimpinan secara umum, tetapi juga kepemimpinan institusi pendidikan secara khusus.
  • Bagaimana pengaruh perubahan model bisnis baru terhadap sistem pendidikan kita? Apakah juga harus berubah? Apa saja yang mesti diubah?

Banyak hal yang dibahas Romo Moko tentang bukunya. Romo yang juga menjadi dosen tamu di Pascasarjana Universitas Indonesia, UGM, Pascasarjana UIN Yogyakarta, pengajar Etika Publik di S3 PTIK, dan dosen tamu di LEMHANAS ini menjelaskan antara lain: Revolusi Industri 4.0, 6 penyebab disrupsi digital, bisnis model platform, perbedaan tuntutan kompetensi Revolusi Industri 3.0 dan Revolusi Industri 4.0, Segitiga Kompetensi Profesional (Kompetensi Teknis, Kompetensi Etika, Kompetensi Komunikasi) hingga Motivasi: Cara Belajar Generasi Digital, prinsip pembentukan karakter, dan 5 pilar pendidikan karakter.

Hal penting yang menjadi tanggung jawab yayasan dan semua stake holders adalah:

  • Menginvestasikan pelatihan guru-guru dengan model pembelajaran baru
  • Investasi teknologi digital, terutama bandwith yang mencukupi
  • Dibentuk lembaga yang terdiri pakar IT dan pedagogi digital: tugasnya mendampingi guru-guru, memberi pelatihan, mendesain dan mengembangkan model pembelajaran dengan ekosistem teknologi digital
  • Dibentuk tim kecil untuk membangun prototype model pembelajaran

Romo Moko juga memberi beberapa bahan diskusi untuk refleksi para guru, "Apakah dalam pendidikan saya sudah membuat pemecahan masalah menggunakan logika abduktif?"

Ketika menunjukkan Evaluasi Kerjasama Tim yang dirumuskan secara positif, romo yang pernah menjadi Panelis saat Debat Keempat Calon Presiden 2019 ini mengutip kata-kata Claude Bernard (ahli Neuroscience), "Ketika kita merumuskan suatu evaluasi secara positif, itu membantu kita untuk menjadi kreatif karena sel-sel otak kita tidak lelah dan tidak terlalu kerja keras. Setiap kali kita berpikir negatif, sel-sel otak kita itu lelah dan mudah mati. Maka orang dengan negatif thinking mukanya buram, judes, tidak ceria."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline