Lihat ke Halaman Asli

Nongkrong: Doing Nothing?

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1382424885330862957

NY Times

Sepertinya kata “nongkrong” udah nyampe Amerika. Kata nongkrong masuk kolom Business – Global, The New York Times (Mei, 2012), isi beritanya Seven Eleven menemukan jalan berbisnis di Indonesia.

Sebenarnya saya agak gusar ketika media New York Times coba meng-artikan nongkrong, ada kalimat di kolom berita tersebut berbunyi: “In many ways, the convenience store’s evolution was a given in a country like Indonesia, where the penchant for hanging out runs so deep that there is a word for sitting, talking and generally doing nothing: nongkrong.”

Terus terang kata “doing nothing” membuat saya menger-nyitkan dahi sekaligus introspeksi. Doing nothing = tidak melakukan apa-apa, seakan-akan di berita tersebut dipersepsikan konsumen Sevel Indonesia cuma duduk haha-hihi ga ada yang dikerjain, tidak produktif atau tidak melakukan aktivitas bermakna. Konotasinya negatif. Wah image seperti ini keterlaluan dan harus di-ubah.

Mindset Waktu

Secara umum mindset orang barat dan orang timur berbeda dalam memandang dan memperlakukan waktu. Saya rangkum dari berbagai sumber (termasuk buku Komunikasi Bisnis karangan Djoko Purwanto, 2006), mindset orang barat: waktu efisien, tidak bisa diulang. Sedang mindset orang timur: waktu fleksibel, bisa diulang (daur ulang). Orang barat teriak “Now or never!”, sedangkan orang Indonesia dengan santun “Liat nanti deh”.

Hmm.. jadi karena ini NY Times bilang nongkrong itu “doing nothing”, seakan-akan New York Times ingin mengatakan konsumen Sevel Indonesia mempergunakan waktu kurang efisien, mereka mempersepsikan nongkrong itu orang hanya duduk-duduk ngobrol ringan tanpa hasil, tanpa melakukan sesuatu yang produktif/bermakna.

*Hanya untuk konsumen nongkrong, artikel tidak berlaku untuk konsumen Stop and Go (beli dan pergi)

Maksimalkan Fasilitas

Seperti kata pemegang lisensi Sevel Indonesia, Henri Honoris, berkata tentang Sevel, “It’s a warung with better quality.” Ya, sebenarnya Sevel adalah warung tapi lebih nyaman, ada tempat parkir, AC-nya dingin, tempat duduk, rak majalah, colokan listrik plus free Wi-Fi. Lengkap sudah. Lalu? Supaya tidak “doing nothing”: tempatkan fasilitas Convenience Store sebagai sarana pendukung, sarana pendukung untuk memaksimalkan potensi. Maksudnya?

Maksimalkan dalam segala hal, maksimalkan mengerjakan tugas kuliah/kantor, maksimalkan brainstorming ide bisnis dengan teman, maksimalkan pertemuan para Blogger, maksimalkan rencana baksos bersama komunitas, maksimalkan negosiasi kontrak dengan klien, maksimalkan start pembuatan script drama atau finishing karya lagu yang belum ada intro-nya. Sesuai jenis produktivitas masing-masing!

“Do nothing” to “Do something”

Convenience store bisa jadi “meeting room” tanpa tembok, lebih santai, relax, tidak begitu kaku. Siapa tau lebih luwes negosiasi disini. Siapa tau lebih niat ngerjain sesuatu di tempat ga resmi. Siapa tau suasana memantik ide/kreativitas baru. Tinggal connect kalo butuh referensi/pengembangan ide. Beberapa resource majalah yang dipajang bukan majalah “ecek-ecek”, isinya berkualitas dan topiknya bisa memperluas pengetahuan dan ide kita. Nongkrong pun  berkualitas.

Selamat nongkrong!

By: Christanto Nugroho

Oct – 2013 #Change

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline