Lihat ke Halaman Asli

Penghargaan Bisa Berarti Sindiran, “Dilulu Kok Ora Rumangsa”

Diperbarui: 4 April 2017   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Dilulu kok ora rumangsa..” atau “Diklayo’ke kok ora rumangsa..”, itu bahasa jawa yang selama ini saya kenal di tempat saya lahir dan tumbuh. Saya kesulitan menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Mungkin yang paling mendekati adalah “ Disindir kok tidak merasa..”.

Mencoba mendefinisikan secara sederhana maksud kalimat itu, di antaranya demikian: “Dilulu” atau “diklayo’ke” itu adalah semacam bentuk sindiran dengan (seolah) memuji pihak lain yang dituju dengan isi kalimat yang sebenarnya bertentangan makna dengan perbuatan pihak yang dituju itu. Maksudnya agar yang dituju itu “merasa” (malu) dan memperbaiki perbuatannya”.

Rumit ya? Begini saja deh, saya kasih contoh. Misalnya: Seorang anak yang sangat rakus pola makannya, sehingga sering mengambil jatah saudaranya yang lain. Karena sudah sering menasihati dan si anak tetap berperilaku demikian, maka orang tuanya menggunakan cara “ngelulu atau nglayo’ke” itu. Bisa dengan kata-kata “pujian” atau “penghargaan” semacam “ Bapak bangga, Nak sama kamu, begitu hebat cara makanmu sampai-sampai saudaramu terbantu menghabiskan jatah makannya..., ck..ck..ck.. Atau bisa juga dengan kalimat “ Bagus, Nak, sekalian saja punya bapak, ibu, dan embah kamu habiskan juga..”

Cara demikian sangat mungkin memancing respon anak-anaknya yang lain. Ada yang “mudeng” atau mengerti dan ada yang komplain. “ Gimana sih, Bapak ini?! Lha wong jelas dia serakah kok malah disanjung-sanjung?!”

Begitu pun respon anak yang sebenarnya disindir itu. Kalau dia “peka” maka dia akan merasa/’rumangsa”. Oh, aku disindir rupanya, udah ah, besok lagi kalau makan yang wajar saja..”. Tapi kalau si anak ini “dongo’” atau “cupet” atau “dedel” ya sistem sindiran itu tidak mempan. Dia justru ke”ge-er”an lalu menjadi bangga seolah mendapat dukungan.

Contoh lagi, misalnya: sebuah wilayah, katakanlah wilayah kota. Kotor sekali, jorok sekali,sampah di mana-mana, gersang dan sebagainya. Saking putus asanya karena sekian lama tak ada pembenahan atau makin parah, kita beri walikotanya sebuah “penghargaan” atau “award”, ..”kita beri tepuk tangan yang meriah kepada Bapak Walikota karena keberhasilannya menjadikan kota ini bersih, indah dan sejuk..!” Plak..plak..plak..plok..plok..plok..,..pluk..! Kalau si walikota “ngeh” dia akan tersindir, kalau nggak “mudeng” ya merasa gede rasa, penghargaan itu pun di terima juga.

Atau sebuah contoh lagi. Misalkan sebuah negara yang sering terjadi intoleransi beragama. Berkali-kali terjadi kekerasan mengatasnamakan agama, perusakan/penyegelan rumah ibadah dan pola penekanan yang banyak jumlah ke yang sedikit jumlah umat, menunjukkan tren meningkat. Banyak yang mulai putus asa, termasuk dunia luar, sehingga pemimpin negara itu perlu di”klayo’ke” dengan memberinya “award” dan penghargaan. Kalau kepala negara yang diberi penghargaan itu peka, maka dia pun akan “rumangsa”, “Ah,..aku tak pantas menerima penghargaan ini,..kamu nyindir ya..”. Tapi, kalau dia “kepedean” tanpa melihat keresahan-keresahan yang terjadi, maka dengan “bangga” dan merasa pantas dia akan menerima. “Lihat,..bukan aku yang minta, aku di beri, lhoo..”. Efeknya? Bisa si kepala negara “lebih serius” menegakkan toleransi, karena menyandang gelar/award. Atau dia tetap seperti dulu, sebab dengan yang seperti itu pun masih bisa dapat “award”,..kok.

Contoh lagiii..., haish,...silahkan dicari sendiri.

Salam rumangsa.

.

.

C.S.

Dilulu kok ora rumangsa...

ck...ck..ck...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline