Lihat ke Halaman Asli

Selalu (Tidak) Ada Pilihan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyaknya kader yang terjerat dalam kasus korupsi wajar diyakini menjadi penyebab terpuruknya sebuah partai politik. Paling tidak itu menurut hasil survey yang diakui atau tidak sering membuat kita mengangguk setuju kalau sesuai dengan harapan kita dan mengatakan itu survey ngawur jika bertentangan dengan harapan kita.

Sepertinya sudah menjadi keyakinan sebagian besar pemilih, terutama “netter”, bahwa pada pemilu 2014 nanti Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan jeblok perolehan suaranya. Bahkan keyakinan yang tipis batasnya dengan harapan itu berpeluang menjadi kehendak “mengharuskan”. Kehendak yang muncul oleh sebab ketidaksukaan baru ataupun ketidaksukaan lama (sejak awal sudah tak suka). Ketidaksukaan baru itu muncul karena kekecewaan terhadapnya. Kasus korupsi jelas bisa menjadi pemicunya. Sedangkan untuk yang memiliki ketidaksukaan lama, kasus korupsi itu bak menemukan senjata peledak sembari bertepuk tangan gembira (tidak ada/sedikit kasus korupsi pun sudah tidak suka, karena alasan-alasan lainnya).

Tentu saja merupakan hak pemilih untuk suka atau tidak suka, baik penilaian baru atau lama. Yang patut menjadi sebuah kekuatiran adalah ketika keyakinan itu berkembang menjadi kehendak “mengharuskan” seperti yang saya kemukakan di atas. Saat pendapat bahwa partai tertentu mungkin kalah menjadi pasti kalah kemudian menjadi harus kalah. Kenapa menjadi kekuatiran? Sebab, sebelum ajang pemilu itu digelar, semua parpol memiliki peluang untuk kalah atau menang. Perolehan suaranya akan menohok ataupun nantinya jeblok. Apa jadinya jika partai yang kita “haruskan” kalah itu ternyata nanti menang, atau perolehan suaranya besar? Masih mending ketika yang muncul adalah kekecewaan serta keterbengongan. Oh, ternyata. Kok bisa, ya? Ingat, pertanyaan ini bisa berkembang menjadi kecurigaan. Kok bisa, sih? Jangan-jangan? Apalagi kalau setelah jangan-jangan ini bercampur kemarahan menjadi tuduhan. Bisa menjalar menjadi penyakit “memastikan” lalu “mengharuskan” lagi.

Sekarang, perkiraan yang banyak berkembang adalah Partai Demokrat atau PKS tak mungkin menang. Karena kasus-kasus korupsi kadernya ataupun sebab/ketidakpuasan-ketidakpuasan lainnya. Tapi, bagaimana kalau ternyata nanti dia yang menang? Tak mungkin? Kalau menang pasti curang? Lalu partai mana yang lebih pantas menang? Yang tidak korupsi? Yang mana? Kenapa bisa dinilai tidak korupsi? Benar-benar bersih, cuma sedikit, belum/tidak memiliki akses/kesempatan atau tidak/belum ketahuan? Tapi, hasil survey membuktikan!? Survey yang mana? Katanya nggak percaya lembaga survey?

Maka itu, kita boleh saja memiliki keyakinan ataupun parpol jagoan, tapi jangan terjebak dalam kehendak mengharuskan. Sebab situasi politik terus berkembang, baik yang termaklumi oleh logika kita ataupun diluar jangkauan nalar kita. Sebab, masing-masing konstituen berpikir dan menimbang dalam banyak aspek yang bisa jadi tak melulu demi negeri tapi demi diri sendiri. Saya belum membeli (kayaknya mahal) dan membaca isi buku terbaru Pak Beye. Tapi judulnya lumayan “menginspirasi”. “Selalu Ada Pilihan”. Yah, meskipun sebagai bagian dari pemilih di pesta demokrasi nanti saya sendiri merasa “mentok” menimbang. Yang ini nanti begini, yang itu nanti begitu, ...aah, selalu (tidak) ada pilihan?

Salam memilih.

.

.

C.S.

Lihat saja nanti...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline