Lihat ke Halaman Asli

Pintu yang Terkuak Separuh

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hanya menunggu, entah tibanya ujung waktu. Bahkan debudebu

luruh dan mengendap dicekam beku. Menjadi lumut yang selimut

dinding batu. Tak sepatah, lirih pun tiada terdengar

Bahkan selarik bisik, tuk sekedar

jawab akan bilurbilur harap. Penanda titik

alunan bimbang yang terus mengusik

.

Belulang mengaduh, daging merapuh. Ku simpuh di depan

pintu yang terkuak separuh

Sayup temaram. Wajah di dalam.

Entahkan tanya, serak tertelan. Adakah senyum merengkuh

sambutan riang, sebab aku terindukan? Ataukah rona muram

tusuk menghujam, balasan dendam, akan lambung teduh

yang dulu kejam kutikam?

.

Andai saja ternyatakan. Dan pintu tertutup tiada harapan

Tak separuh apalagi penuh. Mengusirku pergi menjauh, terantuk

karang. Terbakar panas jalanan, membayar segala kutuk

Hukuman itu kan kunikmatkan

.

Kini, lunglai buku ini mengetuk. Walau tak terdengar, karena jemari kian getar

Di hadapan pintu, terkuak separuh. Kelopak nanar, aku rebah, lelah terkapar

Tersendat nafasnafas hina, menghiba. Aku hilang, selalu ingin pulang

.

.

C.S.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline