Lihat ke Halaman Asli

Mencoba Mengerti Puisi Tingkat Tinggi

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Anda sering membaca karya-karya puisi yang dimuat di surat kabar atau tulisan “sastrawan” tenar? Jika iya, apa pendapat Anda terhadap sebagian besar puisi-puisi tersebut?Stop! Tentu saja pertanyaan ini terutama tentu saya tujukan bagi rekan-rekan yang levelnya nggak jauh-jauh amat dengan saya, tentang pengetahuannya pada karya “sastra”. Yakni menyukai namun tak memiliki basic keilmuan tersebut. Bagi yang merasa lebih mengerti, nantinya jika tak keberatan bersedia memberikan pencerahan.

Kembali ke pertanyaan saya tadi, apa pendapat Anda? Mungkin kita akan berkata puisi mereka bagus, indah, ataupun menarik. Tapi ketika berlanjut pada apa sih makna puisi tersebut? Jawabannya bisa jadi adalah “nggak ngerti”, he...he. Iya kan? Kalau saya terus terang, iya. Atau, untuk berpura-pura menyamarkan ketidakmengertian itu, saya akan mengatakan,...itu puisi “kelas tinggi” yang “dalem” banget maknanya.

Oke. Saya serahkan kepada Anda untuk mendefinisikan puisi itu apa. Puisi adalah A, atau puisi adalah B dan C. Suatu hal yang saya setujui adalah, di dalam karya puisi itu terdapat ekspresi batin dari penciptanya, dituangkan dalam kalimat yang cenderung singkat, menggunakan bahasa yang indah. Seringkali menggunakan perumpamaan, kiasan dan sebagainya. Dan tak lupa, bahkan bisa menjadi bagian utamanya adalah ada pesan/pendapat yang ingin disampaikan.

Nah, karena di sana ada unsur ekspresi (jiwa/batin), mau tak mau saya pun mengakui bahwa dalam puisi terdapat hal yang harus lebih digali dan dihayati. Bukan hanya pilihan kata (diksi) ataupun kesamaan/pengulangan bunyi (rima), pokoknya ada kesamaan bunyi pada akhir baris di tiap baitnya. Mudah-mudahan tidak dianggap berlebihan, jika saya mengatakan itulah yang membedakan adanya “nyawa” / “ruh” dalam puisi itu atau tidak.

Namun, ada pula hal yang selama ini mengganjal. Yakni, apakah puisi-puisi yang “berkelas tinggi” itu selalu tak mudah dimengerti? Atau hanya mampu dimengerti oleh “kelas-kelas” khusus pula, yang mungkin memiliki “tataran keilmuan” yang sama? Apakah memang puisi itu egois, hanya untuk dinikmati komunitas khusus yang mengerti saja? Bagi masyarakat umum yang ingin mengerti harus belajar sekian semester di fakultas sastra?

Karena, terus terang sering kita disajikan karya-karya puisi yang “di luar jangkauan” saat membacanya di surat kabar. Jarang sekali di sana menemui karya puisi yang terasa indahnya dan tak sulit menangkap maknanya. Yang jamak dialami adalah merasakan indahnya, tapi tak mengerti maknanya. Atau bahkan, tak menemui keindahannya, apalagi makna dan pesannya. Lalu darimana tahu kalau itu puisi bagus? Karena dimuat! Redakturnya mampu memahami dan mungkin kita saja yang levelnya “belum nyampe” untuk mengerti.

Banyak yang mengatakan, untuk sebuah karya puisi, penikmatnya diberi kebebasan untuk memaknai sesuai ekspresinya masing-masing. Tapi, menurut saya, alangkah baiknya mengerti terlebih dahulu sebelum memaknai. Kalau untuk mencoba mengerti saja masih sulit, apalagi ketika hendak memaknai.

Ketika kita menemui puisi yang terasa indah, menggetarkan, ataupun menggelitik naluri estetika kita, namun kesulitan untuk mengerti maknanya, tentu tetap berusaha menikmatinya. Jika perlu, bacalah berulang-ulang, bandingkan perumpamaan yang ada dengan gerak laku kehidupan, resapi dan hayati guna menangkap apa yang hendak disampaikan oleh penulisnya.

Mungkin, apa yang kita tangkap kemungkinan berbeda dengan maksud penulisnya. Tapi, itu pun sah-sah saja, bukankah kita diberi kebebasan memaknainya? Namun, sepertinya akan lebih mengena jika terhadap puisi yang “misterius” itu dijadikan bahan diskusi secara bersama-sama, syukur-syukur penulisnya pun ikut serta (bedah puisi).

Sebagai penutup, mari kita menikmati bersama karya-karya puisi di bawah ini.

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Siapa yang tak kenal puisi Pak Sapardi ini? Seperti yang saya katakan tadi, ada puisi yang indah, bernyawa, dan mudah dimengerti.

Tangan Kecil

Tangan kecil hujan

menjatuhkan embun

ke celah bibirmu,

meraba demam pada lehermu,

dan dengan takzim

membuka kancing bajumu.

Tangan kecil malam

menyusup pelan

ke dalam hangatmu,

menemukan aku

yang sedang bergila-gila

di suhu tubuhmu.

Puisi yang saya dapat dari blognya Joko Pinurbo ini, secara pribadi, terus terang saya merasakan keindahan dan “nyawa” di sana. Dan meskipun tak mudah, ada keasyikan dalam upaya “menerjemah”kan maknanya.

Penderes

Melenguh

Kian patah sendi hela nafas

Paha menggulung lekuk tepian

Angkuh gagah menjulang awan

Depa kian merambat

Peluk lengan melekat gurat

Telanjang dada alur keringat

Menuju puncak

.

Lelahku tak sempat

Jika aku terjerembab

Kecup manis itu

Lenyap tanpa sesap

Nah, kalau yang ini, bagaimana menurut Anda? Indah dan mudah dimengerti, indah namun harus menghayati ataukah tak indah dan sulit dimengerti? Kalau yang terakhir adalah jawaban Anda, itu wajar, karena itu puisi karya.... saya..,hahahaha.

Salam puisi.

.

.

C.S.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline