Lihat ke Halaman Asli

Kampungan!

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Entah siapa pencetus dan menjadikannya rumus penerus. Perkataan beraroma umpatan yang bersifat merendahkan. Sekian lama meresap dan mengakar sehingga mampu membuat telinga merah bagi sebagian orang, yang kepadanya kata-kata itu terlontar. Karena dimaknai sebagai “perwakilan” perilaku yang buruk, tak tertata, tak sopan, tak kenal aturan dan hal-hal negatif lainnya. Arti sebuah keburukan yang tanpa tedeng aling-aling merupakan ungkapan rasa bahwa terdapat “kasta” tinggi dan rendah. Kata dasar “kampung” yang dijadikan pilihan tak dapat dipungkiri merupakan cermin penilaian, menjadikannya sebuah klaim keidentikkan.

Kampung dan orang kampung. Penonjolan sisi pandang yang merendahkan tentang sebuah tempat dan orang-orang yang tinggal. Tempat yang tak tertata, orang-orang berpendidikan rendah, tak tahu aturan-aturan, tak tahu sopan santun dan sebagainya. Benarkah demikian? Jika benar. Lalu apa pembanding atau penimbal balik hingga kampung diidentikkan sedemikian rupa? Kota? Adakah kota merupakan tempat yang berisi orang-orang dengan sosok lebih mulia?

Sepertinya, inilah yang harus diakui selama ini telah terbentuk. Kampung rendah, kota tinggi. Kampung hina, kota mulia. Kampung miskin, kota kaya. Semua ternilai dari gemerlapnya saja. Racun-racun semu sehingga berduyun-duyun kita dari kampung hijrah ke kota. Demi gemerlap harta dan kehormatan agar layak disebut sebagai “orang kota”. Mengadu nasib. Yang berhasil merasa naik kasta, menjadi orang kota. Ada dan banyak pula yang merana, bagai laron-laron yang mengerumuni godaan cahaya, lalu luruh terbakar jebakan panasnya.

Sudahkah kita hilang catatan? Kebijaksanaan-kebijaksanaan itu berasal dari kampung. Hidup berdampingan dengan kedamaian dari sana nafasnya. Musyawarah untuk mufakat belajar dari nenek moyang yang hidup di kampung. Gotong royong saling membantu diajarkan dari sana. Hutan dan aliran sungai tetap mengalir karena dijaga penghuni kampung. Bahkan, segala norma kampung merupakan bahan pokok rangkuman-rangkuman bijak membentuk teraturnya kehidupan. Lalu banyak dituliskan menjadi peraturan perundang-undangan, yang sering diagul-agulkan masyarakat kota. Merasa lebih mulia karena lebih hapal dan “pintar” mengutak-atik pasal, tak peduli substansinya.

Masih ingatkah? Yang tersaji di meja hidangan kota, orang-orang kampung penuh kesabaran yang menanamnya. Dan masih banyak kebaikan yang kita rasakan dan perlahan terkikis menjadi kenangan, karena lebih sering menyantap beras impor, buah impor, daging impor. Bukan ayam, telur dan lele kampung. Semua itu menjadikan kita rindu untuk kembali pulang.

Kampung memang lugu, tak modern, bahkan mungkin bodoh. Namun keluguan, kekunoan dan kebodohan itu bukanlah sebuah keburukan. Karena dari sana tak mematikan wujud kemurnian serta kebijaksanaan. Lalu kenapa? Sedemikian muliakah kita sehingga kata dasar itu sebagai pilihan saat melontarkan “hinaan”,....kampungan..!?

Jika memang merasa lebih mulia karena menjadi orang kota, ingatlah lahir di mana. Jika lahir di kota, atau negeri seberang sana, ingatlah siapa orang tua dan nenek moyangnya. Ataukah kita berasal dari luar planet sana?

Pilih mana, “kotaan” atau “kampungan”?

.

.

C.S.

Orang kampung di kota

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline