Lihat ke Halaman Asli

Mengais Sisa Mimpi

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku melangkah menuju pintu keluar kantor notaris itu dengan lega. Diiringi salam dan jabat tangan seorang pebisnis setengah baya, di wajahnya tersungging kepuasan atas berhasilnya transaksi yang diukurnya dengan angka-angka. Yah, dia patut memetik hasilnya, setelah dahulu membeli dengan murah rumah itu, kini ia mampu menjualnya dengan selisih harga yang lumayan. Untuk pasaran  rumah di pinggiran Jakarta ini, harga yang ia dapat sungguh begitu tinggi.

Aku tak peduli, walaupun mungkin ada yang mengatakan aku adalah pembeli yang bodoh. Padahal banyak orang tahu, sebelum kosong dan ditinggalkan penghuninya, di rumah itu pernah terjadi riwayat kelam. Kisah miris, penuh darah. Pembunuhan.

Rumah yang telah lama kosong dan tak layak huni itu, kini telah ada yang membeli, yaitu aku, yang dulu menjadi pelaku pembunuhan itu. Menjalani hukuman bertahun-tahun dan tertatih-tatih untuk bangkit melangkah, hingga akhirnya berdiri tegak kembali, dan mengais kembali kenangan-kenangan yang menyisipi mimpiku tiap malam.

“ Kamu keterlaluan, Sur! Sampai kapan kau bisa melupakan dia? Untuk apa kamu beli rumah hantu itu dengan harga selangit?! Cah...gemblung!” Omel ayahku yang kuterima dengan wajar. Aku tahu ia menyesali langkah anehku. Ungkapan kesalnya sempat tertahan colekan lembut ibuku, yang tampak lebih banyak diam. Aku tak tahu, apa yang ada dalam benaknya. Apakah sama dengan ayahku, ataukah tengah mencoba menyelami dasar hatiku.

“ Aku ingin membeli kenangan, Pak. Walaupun itu mahal..”

“ Kenangan apa? Tentang Mayangmu itu? Yang sekarang tak tahu di mana rimbanya?”

“ Hmm...”, aku hanya terdiam, tak membantah ataupun menyangkalnya.

Terkesan bodoh dan berlebihan memang. Namun, harus ku akui, nama itu sampai kini masih selalu bersemayam. Wajah lelahnya terakhir kali mampu kuusap, dari balik jeruji besi. Aku tak mampu membalas kata, hanya sebuah anggukan yang jauh dari sebuah kata,.. mengharap. Ketika bibirnya yang bergetar, basah oleh aliran bening dari matanya, mengucap lirih “ Aku  menunggumu...”. Dan sejak itu, kami tak lagi bertemu.

“ Sur, ingat. Andai saja dulu kamu tidak pacaran dengannya. Malapetaka itu tak mungkin terjadi!”

“ Sejak kapan Bapak jadi peramal?”

“ Oalaahh!! Anak nglunjak..!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline