Lihat ke Halaman Asli

Emas yang Terbungkus

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Anda pernah mendengar cerita atau membaca tentang Kisah Patung Budha Emas? Sepertinya sudah ya? Saya juga pernah. Meskipun saya tidak tahu kepastian apakah kisah itu nyata, cerita getok tular yang melegenda atau malah fiksi, terus terang saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Kenapa? Karena secara pribadi saya tetap kagum dengan kisah itu dan tentu saja berusaha sebisa mungkin menangkap pesan yang hadir dari sana.

Dari berbagai sumber yang menjadi inspirasi tulisan saya ini, sebagian besar memiliki kesamaan tentang tempat terjadinya kisah itu. Yah! Kisah ini berasal dari Thailand yang mayoritas penduduknya memang beragama Budha. Tentang patung Budha yang terbuat dari emas, namun tertutup “pelapis” yang terkuak pada waktu akhirnya. Ada yang mengatakan tertutup tanah liat, ada juga yang mengisahkan, patung itu tertutup semen. Yang jelas, sekali lagi, tak perlu terlalu diperdebatkan tentang semen atau tanah liat yang menutupinya. Demikian juga tentang waktu datangnya hujan, retakan ataupun cahaya yang memantulkan kilaunya.

Sekedar ilustrasi, alangkah baiknya, saya coba menceritakan kembali kisah itu, ya? Tentu saja mohon maaf jika ada perbedaan dengan kisah yang pernah anda ketahui. Anggap saja, ini “versi” saya hasil meramu dari berbagai sumber yang sebenarnya akan mudah Anda dapatkan. Kisah ini bisa diperoleh dari banyak buku-buku motivasi (chicken soup for the soul), situs-situs wisata, dan hasil pencarian (googling) lainnya.

Oke, seperti ini kisahnya..

Sekitar tahun 1950-an, para penduduk dan sekelompok biksu dari sebuah biara harus memindahkan patung Budha tanah liat (ada juga yang menyebutnya dari semen)  dari kuil mereka ke lokasi yang baru. Biara itu harus dipindahkan untuk pembangunan jalan layang yang akan melintasi Bangkok. Mungkin karena kurang berhati-hati, ketika tali/derek mulai mengangkat patung  yang berukuran raksasa itu, terdengar bunyi “krak!”. Ternyata patung Budha itu retak!

Sesaat setelah patung itu retak, hujan mulai turun. Bahkan semakin deras, diiringi gelegar petir dan angin ribut, layaknya badai. Banyak penduduk yang ketakutan dan menduga bahwa hujan dan badai itu pertanda “kemarahan” Budha karena mereka “merusak” patungnya.  Kepala biksu yang mengkhawatirkan kerusakan Budha  itu, memutuskan untuk menurunkan kembali patung itu ke tanah dan menyelubunginya dengan kain terpal besar guna melindunginya dari air hujan.

Pag-pagi buta, Sang kepala biksu berkehendak memeriksa patung Budha tersebut. Perlahan-lahan, dia berusaha melihat kembali retakan yang sebelumnya terjadi. Untuk memulihkan kondisi patung itu, Sang biksu berusaha menyiapkan adukan semen dan berniat menambalnya. Namun, apa yang terjadi Saudara-saudara? Saat matahari muluai menyingsing di ufuk timur, Sang Biksu yang telah bersiap dengan adonan semennya terperanjat!

Ternyata matanya menangkap secercah cahaya yang memantul balik dari sinar matahari yang memancar kesana. Sewaktu ia mengamati kilauan cahaya itu dengan lebih seksama, ia bertanya tanya apakah ada sesuatu dibalik itu. Ia pergi mengambil pahat dan palu dan mulai mengelupas  lapisan di atasnya, seberkas sinar yang kecil itu, menjadi kian besar dan terang. Beberapa lama ia bekerja sampai akhirnya biksu itu melihat sendiri, bahwa ternyata apa yang selama ini mereka kira sebagai patung Budha besar biasa, ternyata terbuat dari emas. Sebuah patung Budha Emas yang luar biasa!

Banyak yang percaya bahwa beberapa ratus tahun sebelum penemuan kepala biksu itu, tentara Burma berniat menginvasi Thailand (pada waktu itu bernama Siam). Biksu-biksu Siam itu sadar bahwa negeri mereka tak lama lagi akan diserang, karenanya mereka menutupi Budha emas  yang sangat berharga itu dengan selubung tanah liat/semen guna menjaga kekayaan mereka itu dari penjarahan orang orang Burma. Sayangnya, orang orang Burma itu telah membunuh semua biksu Siam, sehingga rahasia tantang Budha emas itu tetap tersimpan utuh sampai pada hari yang menentukan pada tahun 1950-an itu.

Nah,..begitu kira-kira ceritanya..

Lalu, apa yang bisa kita jadikan inti dan dipetik dari kisah itu? Ah, sepanjang interprestasi yang memaknainya secara positif, sepertinya kita memiliki pandangan yang sama. Yaitu tentang “emas” yang tertutup oleh lapisan pembungkusnya/selongsongnya. Kita patut meyakini bahwa tiap kita memilki “emas” pada diri kita masing-masing. Kemuliaan, kepandaian, bakat dan segala hal yang bernilai baik untuk kehidupan kita ataupun orang lain. Katakanlah, emas itu adalah potensi. Hanya saja, kita sering belum menyadari atau menemukan kilauan yang sejatinya ada pada diri kita.

Seperti kisah di atas, kilau emas itu bisa tertutup karena banyak hal, yang boleh kita anggap sebagai “ketakutan”. Ketakutan bisa dimaknai dalam berbagai bentuk, misalnya, tidak percaya diri, merasa tak berguna, terjajah, kebingungan, ataupun hasil “baluran” yang sengaja/tidak diciptakan oleh para “pendidik” kita sebelumnya.

Kita harus berusaha untuk merengkahkan tanah liat ataupun semen yang membungkus emas dalam diri kita. Banyak pengalaman ataupun peristiwa yang kita jalani di dalam proses hidup yang secara positif bisa kita cerna sebagai “biksu” yang memahat lapisan-lapisan penutup potensi itu.

Dan, andaikata sekarang kita memposisikan pada pemelihara yang mempersiapkan atau memoles emas pada diri anak-anak kita, sebaiknya berhenti sejenak dan merenung kembali. Apakah selama ini, dalam mendidik anak-anak, kita berusaha peduli dengan “emas” yang dimiliki oleh mereka? Ataukah justru selama ini, karena kehendak (egoisme) sebagai orang tua, yang sejatinya adalah bersumber dari “ketakutan”, ternyata menjadikan kita menutup potensi anak-anak dengan lumpur, tanah liat, bahkan adukan semen “keinginan diri sendiri” karena “memaksa” anak-anak menjadi seseorang yang diluar potensi/passion mereka?

Semoga bisa. Salam emas.

.

.

C.S.

Bukan yang pertama...

Sama-sama berusaha...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline