Lihat ke Halaman Asli

Kecupan di Ujung Penantian

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Banyak sudah yang menganggapku sebagai lelaki terbodoh sedunia tapi sok mulia, akupun tak berdaya untuk menyangkalnya. Walau tak semua diungkapkan dalam kata yang terucap, tapi perasaanku masih mampu menangkap. Dari segala celoteh, canda yang entah diakui atau tidak, menyiratkan hal yang sama, paling tidak semua terbaca dari sikap. Demikian juga reaksi para sahabat, yang mengetahui juga riwayat mula-mula, tentang pernikahanku dengan seorang wanita yang mengandung benih dari lelaki yang bukan aku. Meski kehamilan itu masih muda dan kupikir sebuah niat wajar dari orang tuanya untuk berusaha menutup rapat menjadi rahasia. Rahasia yang jamak tertatah menjadi  pepatah, serapat apapun bangkai disimpan akan terendus juga aromanya.

Tentang Anita, dia yang sejak dahulu terus  menelusupi relungku dengan getar-getar tertentu, yang membuat aku selalu ingin ia merasakan hal yang sama, sepanjang waktu. Namun sayangnya, selama ini ia sama sekali tak memiliki itu. Jika tak salah aku menghitung, sudah sekian kali ia tak menyambut ungkapan jujurku itu. Remaja, saat dia menjadi adik kelasku di bangku sebuah SMA yang sama, Anita sering menegaskan “, Mas, kita berteman saja..”. Juga usahaku yang selalu kandas meraih simpatinya saat kami sedikit lebih berusia dewasa di masa kuliah”, Mas, sudahlah, jangan terlalu memaksaku..” . Bukan hanya bertepuk sebelah tangan, ada nada ketus yang tersirat lewat tuturnya yang  tampak bosan. Ah, mungkin memang aku yang tak lagi memiliki rasa malu, memelihara hasrat yang seharusnya kubiarkan berlalu. Tapi, apa daya, selalu saja aku tak mampu.

Waktu terus merambat, sungguh berat saat berusaha keras meniadakan bayangnya, apalagi saat jelas ia telah memilih pria  lain menjadi kekasih. Roland, aku cukup mengenal lelaki itu. Bukan hanya itu, Roland lebih tepat adalah salah seorang sahabatku. Mereka memang tampak serasi. Dan yang pasti, saling mencintai, hingga bagaimanapun juga akulah yang harus tahu diri untuk mencoba menghentikan mimpi.

Namun putaran cerita di dunia ini tiada yang mampu menggariskannya, selain Sang Penciptanya sendiri. Ketika Roland harus dipanggil menghadap Sang Kuasa, saat sepeda motor yang dikendarainya mengalami kecelakaan hebat. Anita tampak menangis dalam beku saat pemakaman itu. Sulit untuk mengira sedalam apa sembilu yang ia simpan, betapa saat itu aku ingin menghiburnya, terselip juga khayalan begitu akan berartinya aku, jika ia terlena sekejap saja menyandarkan pilu di bahuku yang sekian lama rindu mewujudkan itu. Namun gamang dan ragu, kenyataan yang sekian lama terpaku itu membuat rendah diriku unjuk membatu,  menyurutkan langkah untuk setapak saja lebih mendekat. Hanya ucapan duka biasa, tak jauh berbeda dari pelayat lainnya, meluncur dari getar bibirku, hanya getar itu yang membuatku sedikir berbeda, hanya  terbalas dengan tatapan kosong serta linang air matanya. Ah, agaknya akupun salah kira, bahkan sebenarnya aku pun tak tahu pasti, apakah ia tengah menatapku saat itu, sepertinya tidak, lebih tepat jika yang terjadi adalah Anita mengabaikan hadirku.

Semua berubah menjadi gundah yang tak mampu kubendung, saat suara kedua orang tua Anita suatu sore selanjutnya menyiratkan sapa dari seberang ponselku, memohon agar aku bersedia bertandang ke rumah mereka. Sulit menggambarkan suasana saat itu, sungguh teriris rasa saat keduanya menghiba agar aku bersedia menikahi anaknya,...segera!

“ Nak, kami tak tahu lagi harus kepada siapa memohon. Hanya Nak Surya yang bisa menyelamatkan kehormatannya..”

“ Kehormatan Bapak dan Ibu juga tentunya kan? Bahkan mungkin yang utama..”

Orang tua Anita terdiam, tunduk dalam kelu. Entah mengapa, kalimatku yang mungkin terlalu menempelak itu meluncur begitu saja. Padahal selama ini aku tak pernah bersikap seperti itu kepada mereka. Karena kedua sosok sepuh ini sedari dahulu selalu baik menyambutku, bahkan tersirat keprihatinan saat tahu bahwa anaknya telah berkali-kali mengabaikan niatku.

Cinta yang selama ini berusaha kuredam seolah membuncah kembali, apalagi sebuah iba yang begitu nelangsa saat menatap sosok Anita yang begitu jauh berbeda. Kecantikannya tersaput kabut sendu, redup matanya tanpa sinar asa. Kosong, tak jauh berbeda saat terakhir kali kuucapkan duka pada acara pemakaman Roland. Hanya saja, sekarang tanpa linang air mata, mungkin telah habis dan tandas mengering.

Dan akupun mengangguk, sekelumit entah yang menjadikanku pasrah, andai kesanggupanku ini nanti adalah sebuah keputusan yang salah. Karena jujur aku akui, sangat tipis batas ketulusan niatku, antara kerelaan menolong ataukah ingin memiliki. Ah, aku tak mengerti, yang manakah sebenarnya telah menggerakkan hati untuk bersedia menjalani.

Tentu kulepas bebaskan segala penilaian akan langkahku.

Ada yang bercanda penuh sindiran tajam “, Kamu pahlawan kesiangan, memangnya dunia kehabisan wanita?”. Ada juga yang seolah memuji, tapi dari sikapnya jelas kutahu, hanya basa-basi “, Sur, kamu hebat sekali, akhirnya bisa juga mendapatkan Anita, walaupun menjadi tangan kedua”. Aku hanya diam tertunduk, karena dari dasar hati ada pula suaraku sendiri membisikkan hal yang sama.

Orang tuaku? Mereka hanya diam, tapi jelas dari tanggapan mereka sulit dikatakan untuk tak keberatan. Bahkan untuk pernikahan itu pun, meski sama-sama berada di Jakarta, kota yang sama, mereka hanya mewakilkannya pada kakak tertuaku.

***

Bahkan ternyata, Anita pun seolah bagai wanita yang telah kehilangan gairah rasa. Sikapnya padaku lebih menorehkan perih dibanding masa-masa dulu, seperti saat ia begitu gigih menolak harapku. Kali ini justru ia terlihat semakin angkuh, bahkan hampir aku tak mengenalnya lagi. Memang, ia masih terlihat ayu, namun layaknya Dewi yang beku dalam selimut salju. Dan tak berubah hingga kamipun nyata-nyata telah terikat dalam sebuah jalinan, ...menikah.

“ Mas, kau jangan bermimpi, ya. Selamanya, di hatiku hanya ada Roland. Anak yang kukandung adalah anak Roland”

“ Anita,..aku...”

“ Aku tahu,...sekarang kau pasti akan katakan berusaha menjaga nama baikku, keluargaku, karena niatmu tulus...cintamu murni..”

“ Salahkah itu..?”

“ Tentu tidak. Aku tahu rasa terima kasih. Tapi kalau berharap semakin lama hatiku nanti akan menerimamu juga,...maaf saja”.

Kata-kata Anita pada malam pertama itu seperti pisau perih yang menusuk tepat ke ulu rasa. Tajam tanpa ampun. Telak! Tak ada satupun tuduhannya yang salah, semua benar adanya. Aku pucat layaknya penjahat, yang terbongkar modus operandinya.

“ Anak yang kamu kandung butuh seorang ayah, kan?”

“ Itu kan katamu, Mas. Juga kata orang tuaku! Aku bisa menjalaninya sendiri..kok, jikapun benar itu,..aku yang berhak memilih..., lelaki itu tak harus kamu!”

“ Tapi, kenapa kau tak menolak pernikahan ini sejak kemarin?”

“ Dengar, Mas! Ini hanya demi orang tuaku!”

“ Anita! Kau jadikan aku tumbal saja?”

“ Terserah rasamu, kenapa  mau saja!? Kalau saat itu Mas menolak, tak akan ada yang bisa memaksamu..”

Begitu berlipat perjuanganku untuk menahan amarah yang mulai mendidih, selebihnya rasa malu yang begitu besar. Tadinya kupikir ini hanya kondisi jiwanya yang masih terguncang akan segala yang dialaminya, tapi tidak juga, kulihat ia begitu tegar melontarkan kata-kata. Kembali aku menyadari, apa yang dikatakannya benar. Terjerembab aku ke jurang kelu, rasa kerdil dan rendah diri semakin merambat menyeruak. Niatku memilikinya telah jelas terbongkar, tanpa aku mampu menangkisnya. Menyerahkan segalanya pada wanita yang menurut keegoisanku adalah “kejam” ini menjadi pilihan keputusasaanku.

“ Hmm..., lalu, aku harus bagaimana?”

“ Kau boleh meninggalkanku, sekarang atau setelah anakku lahir.., terserah”

“ Anita,..aku tak akan melakukan itu..”

“ Kalau begitu, jangan kecewa jika suatu saat nanti, aku yang akan meninggalkanmu..”

Aku terpekur dalam diam, sekejap niatku hendak menyingkir keluar kamar, meninggalkannya. Namun sekilas pantulan geraknya di cermin membuat degupku berpacu. Dengan angkuhnya Anita telah melucuti seluruh busana, lalu rebah berpasrah di pembaringan, tatapannya begitu tenang menerawang langit kamar. Memang, aku terpesona, tak kuingkari gejolak itu, tapi yang lebih besar menyeruak adalah sebuah tanda tanya.

“ Anita,..kamu..,.. ngapain?”

“ Mas, aku juga tahu berterima kasih. Bukankah ini yang sedari dulu kauinginkan?”

Sungguh, aku tak menyangka. Haruskah segala impianku selama ini yang sering kuperjuangkan dalam segala kelelahan hati, kadang berharap ...lalu ingin mengubur kembali meski sulit, lalu berharap lagi.., bahkan selalu merendahkan diri menutupi segala rasa malu, harus berakhir dengan hinaan yang kuanggap tiada tara seperti ini?

“ Kamu keterlaluan, Anita! Aku bukan pemerkosa!”

Brak!!

Pintu kamar itu kuhempas sedikit keras, tak kuasa kutahan amarah kepada diri sendiri, mengapa sekian lama aku tak mampu menghilangkan rasa cintaku kepada hati wanita yang telah beku ini? Dia terlalu rendah menilaiku selama ini. Wajah dan mataku sedikit panas, padahal selama ini tak pernah.

***

.

.

(Bersambung)

Kisah selanjutnya di sini:

Kecupan di Ujung Penantian (2)

.

C.S.

Mudah2an ada yang baca..

Kalau tak ada yang baca..

Yaa.., nanti tetep tak terusin..hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline