Lihat ke Halaman Asli

Kecupan di Ujung Penantian (2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cerita sebelumnya

[ Aku terpekur dalam diam, sekejap niatku hendak menyingkir keluar kamar, meninggalkannya. Namun sekilas pantulan geraknya di cermin membuat degupku berpacu. Dengan angkuhnya Anita telah melucuti seluruh busana, lalu rebah berpasrah di pembaringan, tatapannya begitu tenang menerawang langit kamar. Memang, aku terpesona, tak kuingkari gejolak itu, tapi yang lebih besar menyeruak adalah sebuah tanda tanya.

“ Anita,..kamu..,.. ngapain?”

“ Mas, aku juga tahu berterima kasih. Bukankah ini yang sedari dulu kauinginkan?”

Sungguh, aku tak menyangka. Haruskah segala impianku selama ini yang sering kuperjuangkan dalam segala kelelahan hati, kadang berharap ...lalu ingin mengubur kembali meski sulit, lalu berharap lagi.., bahkan selalu merendahkan diri menutupi segala rasa malu, harus berakhir dengan hinaan yang kuanggap tiada tara seperti ini?

“ Kamu keterlaluan, Anita! Aku bukan pemerkosa!”

Brak!!

Pintu kamar itu kuhempas sedikit keras, tak kuasa kutahan amarah kepada diri sendiri, mengapa sekian lama aku tak mampu menghilangkan rasa cintaku kepada hati wanita yang telah beku ini? Dia terlalu rendah menilaiku selama ini. Wajah dan mataku sedikit panas, padahal selama ini tak pernah.]

.

.

Esok paginya, aku kembali salah kira, tak sepatah pun terucap ia katakan maaf. Oh, Anita benar-benar tak sedikitpun merasa menyakiti. Ah, pasti ini salahku sendiri, mengapa harus merasa sakit hati?

Hari demi hari, menuju putaran bulan yang terus berjalan, rumah tanggaku,..ah..itupun kalau layak disebut rumah tangga,.. hanya kubiarkan seperti angin yang berhembus. Mengalir hampa dalam nuansa tanpa asa. Aku memang telah memiliki istri, Anita,..wanita yang selama ini kuimpikan. Namun kenyataannya aku sama sekali bukan suami yang dia inginkan, bahkan terpikirkan sebuah kesempatan. Dia seperti robot cantik yang mengisi rumahku. Entah apa yang Anita niatkan, sepertinya ia hanya melaksanakan rutinitas menjadi istri karena keterpaksaan belaka. Tampak mati, tanpa setitik pun perasaan. Yang mampu bagiku untuk menyatakan bahwa ia masih hidup adalah kandungannya yang semakin lama semakin membesar. Dan itu sepertinya alasan utama yang membuatnya tetap ingin hidup, sekarang langkahnya hanyalah menunggu waktu selesainya pernikahan.

“ Ingat Mas, ini anak Roland, bukan anakmu..”

Aku tak pernah berusaha mengatakan atau ingin mendapatkan pengakuan, tapi dari bibirnya pernyataan itu selalu terulang, ketika setiap saat kucoba secara wajar menanyakan kesehatan kandungannya, di sela-sela formalitasnya menemaniku sarapan ataupun makan malam.

Tadinya, kupikir dengan kesediaannya menjalankan rutinitas seperti layaknya seorang istri, adalah sebuah pertanda akan mencairnya hati. Namun ternyata aku kembali harus menghempaskan mimpi, mempertegas kembali niatku untuk lebih tahu diri. Itu hanyalah bagian dari ucapan terima kasihnya saja. Atau juga menjalankan komitmen versinya sendiri. Tak sedetik pun kesempatan untuk memberikan ruang, pintu hatinya seolah tertutup rapat tanpa celah untukku mengetuknya, walaupun perlahan saja.

Aku menyerah lagi, mimpi itu terkubur kembali, bahkan harus jauh lebih dalam andaipun nantinya memaksa digali . Akhirnya aku lepaskan segala himpitan kecewa, kucoba melepaskan hati terbang seringan-ringannya, lebih tipis dari beratnya kapas yang melayang-layang entah akan dimana terhampar. Bisa jadi kapas itu akan lenyap terburai angin, kusut masai menjadi serpihan tak berarti. Kuturuti saja apa yang diinginkannya, aku hanya dianggapnya suami pura-pura.

Yang jelas, aku tak ingin gagal pula, saat lebih kusederhanakan hasrat untuk sekedar menjaganya hingga anak itu akhirnya lahir dengan selamat. Saat itu batas akhir perjalanan tanpa peta, hanya maklumat tentang pernikahan kami yang akan tiba waktunya tamat. Dan Anita akan segera bebas lepas mencari kebahagiaannya. Membiarkannya terbang melambaikan tangan, memuaskan niat hatinya semula, meninggalkanku setelah anak itu ada.

“ Terima kasih, sudah memantau..”

Itu ucapan dinginnya tiap kucoba menelpon di sela-sela waktuku bekerja. Sebuah tindakan yang wajar aku kira, sebab sejak awal pernikahan kami, istriku lebih memilih sendirian di rumah. Dia selalu menolak jika kuberikan pembantu rumah tangga untuk sekaligus menemani. Dia tak ingin aku semakin “berjasa” dengan menggaji pekerja. Anita merasa mampu mengerjakan segala tugas rumah tangga seorang diri. Aku tak peduli lagi jikapun dia beranggapan, telponku itu hanya usaha menarik hatinya. Jujur, aku hanya mengkhawatirkannya. Tetap kulakukan dan setiap hari kulakukan, pamrihku sudah kubuang, terbang jauh bersama angan yang sekian lama ini telah pupus dan hilang.

***

“ Kau tak lupa minum susu hari ini kan?”

“ Sudah, Mas. Makasih..”

“ Ini sudah bulan kedelapan, kan?”

“ Iya, aku juga bisa menghitung, kok..”

“ Hm,..jangan lupa, banyak makan buah juga..”

“ Mas. Aku lebih tahu apa yang kubutuhkan untuk bayiku..!”

“ Anita. Aku ingin kalian sehat-sehat saja, apa itu salah?”

“ Tidak. Tapi lebih baik segera selesaikan makan malammu, aku sudah ngantuk..”

Hal seperti ini dahulu memang sangat terasa menyakiti, namun seiring waktu rasaku mulai kebal. Kubiarkan saja, toh aku hanya mencari bahan obrolan yang pantas di meja makan. Apa salahnya? Kupikir, Anita terlalu berlebihan berprasangka bahwa aku masih mencoba meluluhkan hatinya. Padahal tidak, aku kira hatinya sudah lebih dingin dari salju kutub, lebih keras dari batu hitam yang sekian juta tahun terpendam, tak akan mampu tetesan-tetesan air apapun untuk membuatnya berongga, berapapun lamanya waktu tersedia. Sederas apapun, tetes itu akan menguap sebelum mampu menyentuh permukaannya. Apalagi aku, tak ada satupun percik yang kumiliki, semua telah terdampar menepi, layaknya buih-buih ombak yang terhempas angin dan senyap diserap pasir pantai yang gersang.

Gersang! Yah, aku baru saja menemukan kata paling tepat untuk mewakili apa yang kurasakan. Laksana padang kering yang putus asa tanpa datangnya rintik hujan. Hidup bersama wanita yang bagaikan gumpalan awan angkuh dan beku salju, hanya dingin melingkupi, tiada harapan akan mencair lalu luruh.

Meski mencoba dan terus mendamaikan diri, harus kuakui sampai sekian masa ini aku tak juga mampu sama sekali membunuh rasa itu, Anita masih saja selalu menggetarkan hatiku. Bisikan yang kuanggap kesadaran itu mengetuk dada berulang kali. Sampai matipun tak mungkin aku berhasil mengubur rasa cintaku itu.

Bodohnya aku, ini sudah memasuki bulan kedelapan, mengapa tak juga menyiapkan hati saat harapan itu benar-benar harus diakhiri, ketika anak itu terlahirkan dan kami harus saling meninggalkan? Mengapa tidak dari dulu terpikirkan itu. Cara agar rasa kehilangan itu tak terasa menyakitkan bukan dengan jalan membunuh harapan. Itu jelas kurang. Hanya satu cara, belum terlambat, aku harus menumbuhkan benih-benih kebencian itu di dada. Aku harus membenci Anita, cukup banyak alasan untuk melakukannya.

Anita egois! Hatinya terbuat dari batu beku! Kecantikannya tak berarti lagi didepanku! Matanya yang selalu aku tak sanggup lama memandang itu telah buta, aku ingin melihatnya meneteskan kembali tangisnya! Dia pelacur tak tahu diri!

Masih belum cukup, ada banyak lagi alasan tersimpan untuk menjalankan sikapku esok hari, aku harus memikirkan, lalu mencoba menghipnotis diriku sendiri, dengan rasa benci.

***

Sejak itu aku berusaha keras menjadi sosok yang berbeda, mengadu sikap bekunya dengan kehendak angkuhku. Setiap pagi kutinggalkan Anita tanpa banyak kata, kubiarkan dia sendiri terduduk di meja makan.

“ Aku sarapan di kantor saja”. Hanya itu ucapanku, tanpa sedikit pun mencoba ingin tahu raut wajahnya, bagiku tak penting apakah dia bergeming ataupun kecewa.

Tapi wanita yang ingin kubenci ini tetap saja menjalankan formalitasnya, walau tak sekalipun aku sudi mengecap apa saja yang dihidangkannya. Bukan hanya itu, aku selalu mencoba menggelapkan hati untuk bertingkah kejam. Beberapa kali sudah kusiramkan kopi yang dia sajikan tepat di wajahnya, kuabaikan segala apa yang akan diucapkannya. Untung saja dia hanya diam, padahal aku berharap dia melontarkan kata-kata hinaan, saat itulah aku akan melahapnya dengan umpatan yang lebih tajam. Ah, ternyata dia masih memiliki rasa takut, kuatir aku menaikkan tensi amarah dan melayangkan tamparan ke wajah, seperti yang pernah aku lakukan ketika dengan beraninya dia bertanya,

” Mas, nanti malam makan di mana?”

Plak!

Layang tanganku cukup keras membuat wajahnya terpelanting, aku yakin bibirnya berdarah.

“ Hai! Jangan berlagak mengaturku dengan lagak formalitasmu! Dasar pelacur!”

Lalu dengan beringas aku berangkat bergegas, mencoba meledakkan dalam hati sebuah tawa puas. Aku yakin, rasa benciku mulai berhasil aku tumbuhkan. Peduli setan dengan perasaannya, semakin marah akan semakin bagus, karena kurasa dia telah memiliki bekal itu sejak awal, biarlah ketidaksukaannya padaku semakin bertambah besar.

Jika sebelum ini aku selalu meluangkan waktu kerja untuk memantau keadaannya, sekarang jangan harap! Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan dia di rumah sendiri. Karena istri yang bagiku bagai robot itu adalah wanita yang ingin kubenci. Tak kupedulikan pula rutinitasku selama ini mengantarnya memeriksakan kandungan, biarlah dia berjalan tertatih dengan perutnya yang semakin besar, menggunakan angkutan umum atau taxi. Karena akupun tak ingin mendengar ucapan sang dokter padaku,

“ Anak Anda baik-baik saja...”

Anak Anda? Tidak! Dia bukan anakku! Seperti yang sering dikatakan wanita itu!

Pulang ke rumah pun aku selalu tengah malam, lebih baik kuhabiskan waktu untuk menuntaskan segala pekerjaan yang sebenarnya pun bisa ditunda, atau mengarungi malam tanpa jelas tujuan. Saat tiba di rumah telah kusiapkan rencanaku untuk mencabiknya dengan segala pembalasan. Beberapa kali pada tengah malam kumasuki kamarnya, yang sebenarnya adalah kamar kami, namun karena kegamangan selama ini aku lebih memilih tidur di kamar yang lain.

“ Anita, layani aku, suamimu..!”

“ Tapi, Mas. Kandunganku sudah begini besar..”

“ Aku tak peduli, formalitasmu harus tetap konsisten seperti di awal..”

Dan begitulah, aku bukan lelaki sempurna. Segala yang dulu kuanggap hinaan darinya lebih baik aku buktikan. Dia pikir aku tak sanggup membencinya. Bukankah dulu dia menganggap aku tak beda seperti pemerkosa? Perutnya yang telah membuncit besar tak menghalangiku untuk kejam. Anita pun tak mampu lagi melawan, saat aku memaksanya menjalankan kewajiban badani dengan cara apapun, demi menuruti nafsu bercinta yang sengaja kukobarkan. Bahkan setelah menuntaskan gelegak itu, kutebarkan lembaran-lembaran rupiah di tubuhnya. Aku memang pemerkosa! Tapi dia pelacur!

Namun masih saja gejolak benci yang coba kupelihara belum terpuaskan, karena tak juga pernah melihat satu saja yang sangat ingin kutatap,...air matanya. Selalu saja tak ada,..sial.., dia benar-benar telah mematikan rasa.

***

Hari-hari yang menjadi bulan tertempuh selanjutnya aku isi dengan membentuk diri menjadi seorang pembenci terasa sungguh melelahkan, bahkan kuakui terasa menyiksa. Terkadang keraguan tentang apakah dengan ini aku akan ringan melupakannya sering terbersit dan timbul tenggelam. Karena selalu saja aku tak yakin apakah telah benar-benar membencinya.

Ah, tidak! Aku tak boleh mengendur, hanya ini satu-satunya cara. Tak boleh setitik pun rasa kasihan kupelihara, karena itu hanya akan menyurutkan langkahku untuk membencinya dan berakibat garis cinta itu akan kembali mengemuka. Harus kumantapkan menimbunnya dengan lebih banyak keping kebencian, hingga menutupnya semakin dalam...dan teramat dalam.., yang tak mungkin tergali lagi sampai kapanpun,..lalu terlupakan.

Siang itu aku merasa sangat letih, berniat sekejap tertidur di meja kerja di sela istirahat siang. Ketika dering ponsel mengagetkanku hingga sedikit membuatku ingin merutuk...” Mengganggu tidur saja..!”

“ Ya..hallo.., siapa..!” Jawabku tanpa mampu menahan rasa terganggu yang pasti terbaca.

“ Nak,..ini ibu, maaf..penting banget...”

Suara gagap itu ternyata ibu mertuaku, tepatnya ibu dari Anita. Mau tak mau aku pun sedikit mengubah gaya bicara agar kesan sopan tetap terjaga, walau rasa beku itu tak mampu kututupi.

“ Hm..ya, Bu. Ada apa?”

“ Istrimu, Nak. Anita,..dia ada di ruang bersalin sekarang..”

“ Sudah saatnya kah?”

“ Iya,..Nak..”

“ Ya, sudah, ibu jaga saja dia baik-baik...”

Aku tahu, mungkin perempuan tua ini agak kurang berkenan dengan jawabanku. Tapi untuk apa lagi kututupi. Segala yang telah kumantapkan sebagai langkah tepat itu telah terpatri, tak ingin begitu saja melemah dengan rasa simpati. Ia masih di seberang sana, kali ini jelas ada suara terisak..

“Nak Surya.., selama ini ibu tahu,...sangat mengerti rasa sakitmu...”

Aku hanya diam.

“Tapi kumohon lagi, Nak..., datanglah ke sini.., persalinannya agak terganggu,..Anita terus memanggil namamu.., dia butuh kamu.. ”

Ufss. Hampir saja dadaku membuncah. Anita memanggilku?..butuh aku? Tidak! Untung saja aku segera tersadar, tak terjebak pada tumbuhnya harapan. Aku tak percaya kata-kata ibu Anita ini,..maaf saja, kali ini permohonannya terpaksa tak kukabulkan.

“ Bu,...maaf, saya sibuk...”

Hanya itu jawabku yang lirih terhampar, selanjutnya kumatikan ponsel itu. Kepalaku terasa berat, segala keriuhan yang tiba-tiba saja melintas tentang memori-memori yang selama ini terjadi membuatku tak mungkin bisa melanjutkan segala pekerjaan lagi.

Aku membutuhkan hari-hari untuk lari dari segala simpul yang menjadikanku seperti manusia linglung ini. Entah apa yang ingin meledak, rasanya ingin berteriak kencang di lembah yang paling dalam, hingga gaungnya memantul bersahutan. Atau tertawa sebahak-bahaknya sampai serak dan mengalirkan panasnya air mata.

Sintingnya aku, hingga Linda, sekretaris manisku yang rajin bekerja ini harus menjadi korban gundahku.

“ Linda!..kesini kamu!”

Gadis mungil ini dengan gesit dan agak tergopoh datang karena teriakan kerasku.

“ Iya, Pak.., ada apa?”

“ Kamu sudah punya pacar?”

“ Be..belum, Pak. Ke..kenapa?”

“ Sebentar lagi, aku datang melamarmu! Kamu harus mau, okay!”

Linda pun sekejap pias, terkesiap dalam kejut dan cengang.

“ Mak..sud, Pak Surya?..Ba.., bapak kenapa, sih..?”

“ Hahahahahaha...., sorry..sorry, bercanda. Buatkan aku surat cuti!”

“ Be..berapa hari, Pak?”

“ Terserah kamu...!”

Lalu aku gegas beranjak pergi, aku tahu Linda mematung bingung dengan perintahku yang tak jelas juntrungannya. Yang jelas aku ingin segera pergi sekarang, tapi tak tahu hendak kemana. Satu hal yang pasti, ingin menghilangkan bayangan wajah Anita yang mungkin sekarang mengerang kesakitan karena tiba saatnya melahirkan. Bukan anakku yang ia perjuangkan! Itu anak Roland!

Anita memanggil-manggil namaku? Membutuhkan hadirku? Bohong besar! Aku tak percaya! Jika benar iya, ...bukankah aku telah membencinya?...Arrrgh,..kepalaku pusing, seperti hendak pecah..!

***

(Bersambung)

Kisah selanjutnya di sini:

Kecupan di Ujung Penantian (Selesai)

.

.

C.S.

Sorry, belum tamat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline