Tumpang tindih/dualisme penyidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM antara KPK dan Polri layak dipandang akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Kedua lembaga yang bersikeras untuk tetap melakukan penyidikan semakin lama semakin membingungkan masyarakat. Meskipun mayoritas suara publik menginginkan penanganan kasus itu dilakukan oleh KPK (saja), namun melihat latar belakang “berebut”nya kasus ini adalah masing-masing merasa berwenang karena “beda pendapat” dalam penerapan undang-undang, maka jelas yang diharapkan oleh publik adalah sebuah kepastian.
Presiden tentunya tidak sesederhana itu bisa dianggap sebagai penyelesai persoalan. Meskipun dia adalah selaku atasan langsung kepolisian, suara masyarakat yang menginginkan presiden memberikan perintah agar polri melimpahkan kasus ini kepada KPK tentu tak semudah itu dilakukan. Langkah yang akhirnya dia lakukan dengan mempertemukan Kapolri dan Ketua KPK agar kedua lembaga ini bersinergi adalah sebuah tindakan dapat dianggap maksimal. Karena dalam kasus ini erat kaitannya dengan ranah hukum atau kewenangan, dan ketika undang-undang itu penerapannya “berbenturan”, presiden tidaklah tepat bertindak sebagai pengambil keputusan. Ini kewenangan judikatif, bukan eksekutif.
Namun demikian, langkah yang terbaca bahwa KPK dan polri “bekerjasama” dalam penanganan kasus ini dengan keduanya secara substansi tetap melakukan penyidikan tentu tidak menjawab tentang adanya kepastian yang diharapkan, bahkan layak pula dianggap sebagai pelanggaran.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya bisa diharapkan menjadi penuntas kasus ini, sebagai pemutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Tapi, ternyata tak semudah itu juga. Di samping baik Polri ataupun KPK terlihat tak tergerak untuk membawa sengketa ini ke sana, gejala bahwa MK pun “menghindar” sudah nampak, meskipun dengan pertimbangan yang masuk akal juga. Bapak Mahfud MD sendiri yang notabene Ketua MK mengatakan yang intinya Mahkamah Konstitusi pun tidak bisa menyelesaikan sengketa ini, karena hanya bisa menangani/memutus sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 45 (kepolisian diatur dalam UUD 45, sedangkan KPK tidak).
Sedari awal, saya yang bukan ahli hukum memperkirakan, jika dualisme penanganan kasus itu berlanjut, maka akan rawan dipraperadilankan. Yang berpeluang besar melakukannya adalah para tersangka. Dan ternyata, ketika para ahli hukum dan para pejabat (institusi) tengah berpolemik dengan kasus ini, permohonan pra-peradilan itu benar terjadi, meskipun bukan (belum) para tersangka yang mengajukannya. Seperti yang dirilis oleh gatra.com, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) memperaperadilankan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, karena penahanan 5 tersangka kasus korupsi pengadaan simulator ujian Surat Izin Mengemudi (SIM) oleh Polri dinilai melanggar aturan.
Koordinator MAKI, Boyamin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (7/8), mengatakan, penahanan terhadap empat tersangka dalam kasus itu oleh Bareskrim Polri tidak sah. Pasalnya, penyidikan kasus yang dilakukan Bareskrim melanggar Pasal 50 Undang-Undang nomor 30/2002 tentang KPK.
Yang menjadi termohon dalam permohonan praperadilan tersebut, yakni; Kapolri Jenderal Timur Pradopo sebagai termohon satu, Pimpinan KPK sebagai termohon dua, dan Jaksa Agung Basrief Arief sebagai pihak termohon tiga. Boyamin mengatakan, pihaknya memohon hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memerintahkan penyidik Bareskrim Polri menyerahkan penanganan kasus itu ke KPK dan termohon tiga, Jaksa Agung untuk menolak Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) nomor SPDP/16/VIII/2012/Tipikor yang dikeluarkan termohon satu.
Bagaimanapun juga, langkah yang ditempuh oleh MAKI tersebut layak diberikan apresiasi. Untuk saat ini mereka dapat dianggap “mewakili” suara publik yang membutuhkan kepastian. Ketika Polri dan KPK bersikeras dengan dasar hukumnya masing-masing, presiden “kebingungan”, MK “angkat tangan” dan cara “kerjasama” yang ditempuh oleh kedua lembaga yang bersengketa itu rawan melanggar ketentuan, maka pengadilan-dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan- bisa menjadi jalan untuk terwujudnya kepastian jika mengabulkan permohonan MAKI.
Tentu saja harapan hanya tinggal harapan jika permohonan MAKI ini tidak dikabulkan, hal itu tak mustahil terjadi, mengingat kasus ini dalam penyelesaiannya seperti “bola panas” yang terlempar kesana kemari, dan kali ini keberanian Pengadilan Jakarta Selatanlah yang diuji untuk sanggup menangkapnya.
Kita lihat saja nanti. Jika permohonan ini tak berhasil, haruskah kita menunggu “kebingungan” para jaksa nantinya, atau serangan balik para tersangka yang melakukan gugatan praperadilan?
Salam kepastian.
.
.
C.S.
Dia saja, kamu saja, aku nggak bisa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H