Lihat ke Halaman Asli

Yen Ing Tawang Ana Lintang

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yen Ing Tawang Ana Lintang

: Chris Suryo

.

Siang itu, dua karung rumput untuk persediaan makan sapi dan kambingku besok selesai kusandarkan pada dinding bilik kusam belakang rumah. Setelah membasuh kaki dan tangan di sumur, aku bergegas ingin segera masuk, melepas lelah. Mbah putri sedikit terkejut dengan derit pintu bambu yang kugeser, padahal sudah kucoba melakukannya dengan sangat perlahan.

“ Ealah, Sur..Sur, mbok ya alon-alon nggeser pintunya! Udah tahu pintu bambu kita reyot...”

“ Yo, sorry to Mbah. Lha ini udah pelan banget je. Besok deh aku betulin..”

Simbah ku ini lalu melanjutkan apa yang sebelum aku datang mengejutkannya ia lakukan, menganyam mendong untuk menjadi sebuah tikar, kami di desa ini sering menyebutnya klasa. Pada umurnya yang menjelang tujuh puluh tahun ini kusyukuri ternyata matanya masih tajam, buktinya jemari keriputnya tetap lincah menganyam daun-daun panjang itu menjadi bentuk tikar yang indah. Banyak yang mengatakan hasil anyamannya paling bagus dan kuat, makanya selalu ada yang memesan, apalagi musim kendurian.

Krrriyeeet! Aku merebahkan diri pada lincakyang ada di sampingnya. Ah, kali ini aku lupa melakukannya pelan-pelan, bunyi deritnya jelas membuatnya njondil tak karuan.

Pluk..!

Ufss!

Lemparan susur tembakaunya tepat mampir dijidatku, meninggalkan cap merah dan aroma sirih yang tiada duanya.

“ Yaa, ampuun, Mbah. Temperamen banget siih,...mambu tenan susurmut iki,..ah!”

“ Kuapokmu kapan! Udah dikasih tahu, pelan-pelan...”

“ Hehehe,..lali, Mbah. Tapi baguslah, berarti pendengaranmu masih tajam..”

“ Wooo, putu kurang ajar..”

Dalam hati aku mengikik geli melihat muka manyunnya. Seribu persen aku yakin, dia tidak marah beneran. Kalau Cuma mengomel semacam ini sudah biasa dia lakukan. Kami sudah sama-sama tahu watak masing-masing, apalagi sudah hampir dua puluh tahun kami hanya hidup berdua. Mbah Kakung sudah lama meninggal sebelum aku lahir, Mbah Putriku inipun harus sendirian merawatku sejak umur tiga tahun, karena bapak dan simbokku meninggal tersambar petir waktu tandur di sawah, katanya memang saat itu hujan gerimis.

Sambil menggeliat yang lagi-lagi menimbulkan suara berisik, tapi tak lagi membuatnya kaget, aku meraih radio kecil di ujung lincak.

“ Lah, mbok makan dulu to, Sur! Baru tidur, nanti masuk angin kowe..”

“ Cuma tidur-tiduran kok, Mbah. Belum lapar..”

Sakarepmu, lah..”

Kuputar-putar tuning radio yang sudah cukup berumur itu. Semilir angin dari celah jendela menghantarkan nikmat segarnya sejuk desa. Aku bersenandung berdebaran saat tembang yang mengumandang membelai perasaan,...kesepian. Merdu suara Manthous, kubarengi dengan terpejam..

“ Yen ing tawang ana lintang..

Cah ayu..

Aku ngenteni..

Tekamu.....”

Bukan hanya menirukan, namun sepertinya aku agak sedikit berteriak sewaktu menyanyikan. Yang kutahu, aku merasa suaraku seindah sang penembang. Meskipun pendapat Mbah Putri sudah pasti beda, karena ketika lagu itu usaipun, aku masih braokan menyanyikannya.

“ Janji janji..

Aku eling...

Cah ayu....

Rungokno tangising ati...”

Mungkin tak tahan lagi mendengar teriakan hati cucunya, Mbah Putriku melemparkan kembali susurnya. Kali ini tepat kena mata, memaksaku berhenti menyanyi lalu membuka mata.

“ Aduh, Mbah. Kenapa lagi sih, orang lagi enak-enak nyanyi kok dibalang..?”

“ Memangnya aku nggak tahu, sampai kapan kamu bisa ngelupain Ayu-mu itu, haaa?”

“ Lho, siapa yang mikirin Ayu, Mbah? Aku Cuma nyanyi, kok..”

“ Nggak usah mungkir. Sudahlah, Ayu sudah pergi, mungkin bukan jodohmu..”

“ Iya...iyaaaa..”

***

Aku tak mau lagi memperpanjang bahasan, lebih memilih diam terpejam. Mbah Putri benar, dia selalu tahu apa yang ada dalam hatiku, cucunya. Memang, sampai sekarang aku belum bisa lupa. Ayu, putri Pak Lurah itu memang pernah menjadi kekasihku. Sebelum kami memutuskan untuk berpisah dulu saja. Ayahnya tentu ragu dengan masa depan anaknya kalau kami tetap bersama. Ayu dia kuliahkan di kota, demi menuntut ilmu, katanya.

Tapi yang membuat aku tak habis mengerti, Pak Lurah pernah mengajakku bicara empat mata, dengan jelas ia pernah mengatakan sesuatu.

“ Sur, kalau kamu ingin aku merestui hubunganmu dengan Ayu, kamu harus bisa membujuk warga desa untuk menjual sawahnya pada pengusaha real estate, temanku dari kota itu..”

“ Lho, kok begitu, Pak Lurah?”

“ Ssst,..dengar. Apa tak kamu lihat sendiri, teman-teman angkatanmu sudah pergi ke kota semua, nggak ada yang mau menggarap sawah. Cepat atau lambat, sawah kita memang harus dilepas..”

Aku tercenung dengan kata-kata orang yang seharusnya kuhormati itu. Memang, teman-temanku banyak yang lebih tertarik dengan gemerlap kota. Yang masih tersisa pun tidak lagi berminat untuk bergelut dengan lumpur, padahal mereka juga tak punya kebisaan lain. Malah banyak sawah yang sudah dijual untuk dibelikan sepeda motor, ah, aku menyayangkan jalan pikiran mereka.

“ Gimana, Sur...”

Aku menggeleng penuh kegamangan, saat itu.

“ Maaf, Pak Lurah. Aku masih ingin jadi petani saja..”

“ Ya, sudah, kalau itu maumu....”

***

Suara Mbah Putri yang kembali menyuruhku untuk makan dulu tidak kudengarkan lagi. Aku memilih memejamkan mata, pura-pura tertidur meski saat ini aku benar-benar ingin terlelap. Entah, sampai kapan aku bisa melupakan Ayu, aku yakin dia sendiri tak semudah itu melupakan aku. Aku juga tak tahu, sampai kapan aku masih bisa menjadi petani saja.

Yang jelas semilir angin yang menerobos celah jendela datang lagi, membuat aku kembali ingin bernyanyi, tapi tentu saja hanya dalam hati.

“ Yen ing tawang ana lintang..

Cah ayu..

Aku ngenteni..

Tekamu.....”

“ Janji janji..

Aku eling...

Cah ayu....

Rungokno tangising ati...”

Mbah Putri melempar lagi susurnya, mampir di pipiku, namun kali ini aku abaikan saja.

.

.

C.S.

Tanpa pelok tanpa slendro..

.

Yen ing tawang ana lintang = Jika di langit ada bintang

Aku ngenteni tekamu = Aku menunggu datangmu

Rungokno tangising ati = Dengarlah tangisan hati

alon-alon = pelan-pelan

mendong= sejenis daun memanjang

klasa = tikar

lincak = bale-bale bambu

njondil= terlompat

mambu tenan= bau sekali

lali=lupa

putu=cucu

tandur=menanam padi

kowe=kamu

Sakarepmu = terserah kamu

braokan=teriak-teriak

balang=lempar

susur = nginang




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline