[caption id="attachment_198871" align="aligncenter" width="460" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock.com)"][/caption]
“Apalah arti sebuah nama...”
Sepotong kalimat yang digubah William Shakespeare ini seringkali lebih ditonjolkan tanpa menyelesaikan seluruh kalimatnya. Banyak yang hanya mengambil sebagian untuk menunjukkan keinginan atau ketidakpedulian tentang pentingnya sebuah nama, tentu saja bergantung apa yang ada di benak masing-masing, baik itu menyetujui sepenuhnya atau sekedar kelakar saja.
Padahal seturut pemahaman saya, Shakespeare, si pujangga, mengungkapkan kata itu untuk memberi gambaran bahwa yang lebih penting adalah kebaikan pemilik namanya, bukan berarti mengatakan kalau nama itu tidak penting. Karena kalau tak salah kalimat/pernyataan singkat William Shakespeare secara lengkap adalah “Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi (What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet)”.
Dalam realita, saya yakin ketika orang tua memberi kita nama, ataupun saat kita memberi nama pada anak-anak kita mengandung maksud, tujuan, atau katakanlah sebuah doa dan harapan agar seseorang yang diberi nama menjadi sosok yang baik dalam hidupnya, sesuai dengan namanya, kira-kira begitu gambaran sederhananya. Kecil kemungkinan orang tua memberi nama dan harapan buruk untuk anaknya. Pendek ataupun panjang, nama itu pastilah mengandung kebaikan, atau setidaknya tanpa keburukan.
Nama-nama tradisional seperti Bedjo, Ayu, Bagus, Satrio dan lain-lainnya dalam pemahaman jawa maknanya selalu baik, demikian juga nama-nama bersifat kedaerahan lainnya. Banyak juga yang mengambil nama-nama religius seiring Agama/kepercayaan/iman yang dianutnya seperti Achmad, Muhammad, Aisyah, Markus, Maria, Matius, dan sejenisnya. Semua mulia, itu yang diinginkan pemberi namanya. Apalagi untuk memberi nama yang baik itu tak perlu biaya tinggi, bahkan gratis. Sangat aneh kalau ada yang memberi nama anaknya Rampok, Sundal, ataupun Lonte.
Bahkan percaya atau tidak, ada budaya yang terkadang memandang berat atau ringannya sebuah nama. Saya memiliki sepupu yang dulu waktu kecil sering sakit-sakitan. Para sesepuh menyarankan agar namanya diganti saja. “ Kabotan jeneng”, kata mereka. Saya lupa secara persis nama saudara sepupu saya waktu itu, kalau tak salah Mardianto tapi akhirnya memang namanya diganti menjadi “Mardiono”. Penggantian suku kata “ono” itu maksudnya adalah “ada”, dengan harapan agar sepupu saya itu selalu sehat/hidup. Dan benar juga, sejak itu dia selalu sehat sampai sekarang, tak lagi sakit-sakitan.
Selain itu, dalam konteks anggapan terlalu beratnya nama yang disandang sering juga dihubungkan dengan tingkah laku buruk yang tidak sesuai dengan namanya yang “mulia”. Banyak yang memiliki nama bagus bahkan religius tapi tindak tanduknya sangat berlawanan. Namanya indah sekali, bahkan sangat santun dan beriman namun berperilaku jahat, merampok, memperkosa dan korupsi. “Kabotan jeneng”.....keberatan nama! Namanya tidak sesuai dengan tingkah lakunya.
Tentu saja ketika menyangkut perbuatan buruk, meskipun seseorang dianggap tak mampu menyandang kemuliaan namanya, bukan berarti dia harus mengganti namanya agar sesuai, tapi tingkah lakunyalah yang harus diganti, bertobat agar perbuatan selanjutnya sesuai dengan namanya.
“Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi”. Dalam hal ini pernyataan Shakespeare bisa dimengerti. Bukankah masih lebih baik bernama “Bunga Bangkai” tapi beraroma wangi, daripada bernama “ Melati Suci” tapi menebarkan bau busuk? Tentu saja yang sesuai harapan adalah Melati Suci beraroma harum.
Salam dari Pakde Paijo!
.
.
C.S.
Jenengmu sopo?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H