Mengingat kenangan lama saya saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, sekitar tahun 95’an, memang memunculkan berbagai rasa. Sedih, trenyuh, tak terlupa dan perasaan lain yang bercampur aduk. Apalagi jika masa yang pernah terlalui itu dialami ketika secara usia ataupun pengalaman hidup di belantara ibu kota bisa dikatakan muda, hijau bahkan culun, tak banyak mengerti, bermodal utama tekad dan keberanian.
Usia saya saat itu masih sekitar delapan belasan kurang, ketika setelah lulus SMA tak beruntung diterima di fakultas universitas idaman melalui UMPTN (diterima pun sebenarnya tetap bingung karena tak yakin orang tua memiliki biaya), demikian juga sekolah kedinasan gratis biaya yang menjadi prioritas utama, tak nyangkut. Sambil menunggu tahun berikutnya, ada yang baik hati menampung saya bekerja di kampung halaman, itung-itung buat menabung biaya pendukung kuliah yang pasti diperlukan andai nantinya beruntung diterima.
Akhirnya datang juga panggilan tes dari institusi swasta, perusahaan grup Gajah Tunggal yang membuka sekolah bersistem serupa ikatan dinas. Sayangnya, tes itu diselenggarakan di tempat perusahaan itu berada, di daerah Tangerang. Sempat gamang juga waktu itu, satu kalipun saya belum pernah pergi jauh, apalagi menginjakkan kaki di kawasan metropolitan dan sekitarnya. Orang tuapun sempat bingung dan serba salah karena secara kondisi mereka tak mungkin bisa mengantarkan, apalagi selama ini saya terbiasa sendiri mengerjakan segala sesuatu dalam hal urusan sekolah, tak tega merepotkan mereka, bisa membiayai sampai SMA saja sudah bersyukur. Tapi akhirnya setelah memperoleh ijin dari tempat kerja, dengan bekal sedikit tabungan hasil selama itu bekerja, saya beranikan diri berangkat, ingin mencoba berkenalan dengan apa itu Jakarta, dengan restu orang tua yang kuatir tentu saja.
Dari kampung, Purworejo, saya naik bus malam Sinar Jaya dengan tujuan awal Terminal Pulogadung. Karena belum pernah pergi jauh, atau entah kondisi yang kurang fit, di perjalanan sangat tersiksa, pusing tak karuan, bahkan mabuk perjalanan (hehe..dasar kampungan ya..). Bus ini memang tergolong lajunya kencang, apalagi jalur pantura saat itu kebetulan lancar, sehingga tiba di Pulogadung masih sekitar pukul tiga dini hari. Badan saat itu begitu lungrah, tapi saya pikir harus segera makan. Agak di belakang terminal saya lihat ada penjual mie instan, tampak beberapa penumpang juga makan di sana. Pedagangnya orang jawa, pembelinya banyak orang jawa, jadi sedikit mengobati rasa keterasingan saya dengan Jakarta yang sebenarnya terasa “menakut”kan.
Kesempatan itu pun saya gunakan untuk bertanya, arah dan bis mana yang harus saya tuju selanjutnya. Ternyata harus menunggu bis AJA tujuan Cimone, Tangerang yang pukul enam baru akan datang. Wah, berarti harus menunggu tiga jam lagi.
“ Istirahat saja dulu, dik. Tidur..”
“ Di mana Pak?”
“ Yaa, cari tempat lah, tuhdi sana bisa..”, katanya sambil menunjuk sebuah emperan, agak gelap, memang kulihat ada beberapa yang mendengkur beralaskan koran.
Agak ragu-ragu, kuatir dan takut. Tapi rasa lelah dan mencoba berani, percaya diri, berdoa semoga aman-aman saja, saya pun menuju ke sana. Beralaskan koran juga, saya berusaha tertidur memejamkan mata. Agak sulit, karena selain terselip rasa harus waspada, bau got di dekat saya cukup mengganggu selera beristirahat di peraduan.
Tapi karena berpikir, barang paling berharga yang saya bawa hanya uang, itupun saya simpan di kantong celana pendek rangkapan jean yang saya kenakan. Ada juga sih di tas ransel yang saya dekap, di antara kantong dan beberapa potong baju. Tapi jumlahnya tak terlalu besar, itu cara saya, sengaja dipisahkan, antisipasi agar kalau apes-apesnya hilang tak habis semua. Akhirnya terlelap juga, sampai matahari terbit ternyata tak ada penjahat yang mengusik. Aman. Hingga bis AJA yang dimaksud itupun akhirnya memang datang, saya pun menaikinya menuju Tangerang. Tapi ternyata sepagi itupun sudah berjubel dan saya harus berdiri. Ah, begini rupanya Jakarta, nggak enak banget, itu kesan pertama saya.
Di sekolah yang saya tuju itu memang bukan keberuntungan juga, tapi bukan masalah hasil akhir ketika saya tidak diterima lalu karier/cita-cita yang kemudian saya tempuh seperti apa yang terutama ingin saya ceritakan (masih rahasia). Tapi yang sangat membekas adalah kenangan ketika pertama menghirup debu Jakarta, dalam kondisi masih culun tak banyak mengerti apa-apa. Dan sekarang, bukannya belagu, Jakarta sudah lumayan “akrab” dengan segala hiruk pikuknya. Terkadang merasa telah menaklukkan tapi sering juga dalam kondisi ditaklukkan. Namun kesan saya saat ini pun tak berubah, tetap nggak enak hidup di Jakarta.
Salam metropolitan.
.
.
C.S.
Tetap mengidamkan Desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H