Lihat ke Halaman Asli

Keturunan Ketiga

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

:Chris Suryo

Si janda paruh baya itu bernama Mak Kanti. Tiap pagi yang dilaluinya memang berjalan seperti ini. Pulang dari pasar kumuh tempat ia berdagang sayur, daun pisang dan jati. Gadis kecil yang dituntunnya itu bernama Surti, sejak bayi sudah sudah di tinggalkan ibunya menjadi TKI di luar negeri. Rukmini, anak satu-satunya, ibunya Surti sudah lama lenyap seperti tertelan rimba. Jangankan kiriman uang, kabar berita pun tak ada. Sudah lelah Mak Kanti bertanya, tak juga mendapatkan kepastian. Ia tak tahu, apakah memang Rukmini sudah mati, ataukah ia yang selalu salah mencari tempat bertanya. Akhirnya ia pun putus asa, namun tak memiliki banyak waktu untuk kesedihan itu, Surti harus dibesarkannya, menggantikan Rukmini yang ia ikhlaskan menghilang bersama dunia.

Semakin hari Surti tumbuh menjadi gadis jelita. Semangat Mak Kanti untuk menyisihkan hasil dagangan mampu menyekolahkan Surti hingga cucunya itu lulus SMK, meskipun dengan nilai biasa-biasa saja. Mak Kanti sebenarnya inginkan Surti tetap bersamanya, hidup di desa, berdagang sayur di pasar. Tapi Surti berpikir beda, ia tak ingin nasibnya sama saja. Ia ingin meningkat statusnya, bukan hanya meneruskan neneknya berdagang sayur saja.

“ Setiap orang harus berusaha merubah nasibnya, Nek..”, kata Surti saat membahas hal ini.

Mak Kanti pun dengan berat hati mencoba mengerti. Hingga akhirnya ada salah satu tetangganya yang mengajak Surti bekerja di kota. Di pabrik boneka, katanya. Surti girang penuh harapan,tak ada lagi alasan Mak Kanti untuk menahannya, meskipun di hatinya masih tersisa trauma, tentang Rukmini yang tak kembali lagi.

“ Surti tidak ke luar negeri, dia pasti sering kembali”, pikirnya.

Harapan tinggal harapan. Memang, bulan-bulan awal Surti sering memberikan kabar, juga sedikit mengirimkan uang. Tiap lebaran pun cucunya itu pulang, yang membuatnya sedikit heran karena Surti telah berbeda penampilan, lebih cantik tapi banyak polesan.

Tapi itu hanya dua tahun berjalan. Di tahun yang ketiga, Surti pulang, tapi dengan perutnya yang membuncit karena sudah hamil hampir sembilan bulan. Saat ditanya siapa bapaknya, Surti hanya menangis dan kadang malah berteriak histeris. Warga desa semula keberatan dan ingin mengusir cucunya, namun rasa iba terutama pada Mak Kanti membuat mereka bersabar hati.

Surti melahirkan bayi perempuan yang cantik, tapi seiring itu dia mengalami pendarahan parah. Nyawanya tak terselamatkan. Mak Kanti yang sudah kenyang dengan kesedihan, hanya tampakkan sedikit air mata yang ia teteskan. Tersenyum kosong, ia memandang cicitnya yang haus dalam gendongan. Bayi ini ia beri nama Rudatin, yang menurutnya berarti “kesedihan”.

“ Momong putu maneh,...Mbaaah*)!!”, itu sapaan yang sering mampir ke telinganya saat berdagang di pasar. Ketika Rudatin yang mulai jenaka, bermain boneka di sela-sela tumpukan dagangannya.

Wiss, been. Sak karepe Gusti*)....”, Mak Kanti menjawab dengan ringan, seolah tanpa beban.

Rudatin semakin besar dan dewasa, jauh lebih cantik dari ibunya. Mungkin memang bapak kandungnya ganteng dan golongan orang kaya di kota. Sekolahnya pun pintar dan cerdas, Mak Kanti senang, cicitnya banyak mendapatkan beasiswa. Bahkan bisa pula menjadi seorang sarjana, lalu bekerja, semakin sukses dan kaya.

***

“ Nek Kanti, kok buburnya tidak di makan?” seorang perawat tersenyum menepuk bahunya.

“ Haaa! Apa, Nduuk..?” Mak Kanti sorongkan telinga. Suaranya masih kencang, tapi memang pendengarannya sudah jauh berkurang.

“ Buburnya, Neeek!” gadis perawat itu keraskan suaranya, agak mendekat ke telinga.

“ Oooo,...itu. Iya, enak buburnya, aku minta nambah...”

Sang perawat hanya tersenyum sambil geleng-gelengkan kepala. Hal seperti ini sudah biasa, Mak Kanti pikunnya membuat geli memancing tawa.

“ Cicitku, Rudatin tak pernah datang lagi, yaa?” untuk yang satu ini, penyakit pikunnya tak menguasai.

“ Sabar Nek. Nyonya Rudatin banyak tugas, sekarang malah sedang di luar negeri, mendampingi suami. Kan nenek suka melihatnya di tivi..”, hibur si perawat ke telinga Mak Kanti lebih dekat.

“ Mataku juga sudah blawur, nduk...”

Angin sore itu bertiup agak kencang, sepertinya sebentar lagi hujan datang. Tak baik berlama-lama di teras untuk seorang perempuan tua yang mudah sakit-sakitan. Perawat itu memapah Mak Kanti masuk ke dalam, bergabung dengan beberapa teman senasibnya. Dan teras Panti Jompo itu kembali sepi, hanya kesiur angin dan gerimis yang perlahan jatuh di pelataran, juga daun-daun kering yang tanggal karena usia, melayang bertebaran, akhirnya terkulai di tanah dan rerumputan.

Si janda, perempuan renta itu bernama Mak Kanti.

.

.

C.S.

Momong putu maneh,...Mbaaah = Momong cucu lagi,...Mbaah (jawa)

Wiss, been. Sak karepe Gusti = Udah, biarin. Sekehendak Tuhan (jawa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline