Lihat ke Halaman Asli

Rosidi, Petani Lugu Terjerat Hukum yang “Lugu”

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca sebuah rangkaian  berita di Kompas.com (14, 21 dan 28 Mei 2012) tentang Rosidi, seorang petani, warga Dusun Pidik, Desa Wonosari, Pegandon, Kendal,yang terancam hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara karena didakwa mencuri sebatang kayu kembali membuat trenyuh dan menguatkan pertanyaan tentang “adanya masalah” dalam menjalankan hukum (pidana) di negeri ini.

Sayangnya, wacana yang tersampaikan barulah berbahan dasar dari sisi pihak Rosidi itu sendiri. Belum diperoleh kabar mengenai tanggapan dari pihak kepolisian ataupun perhutani, agar kondisi yang mendekati utuh tentang duduk perkara sebenarnya bisa lebih dapat dinilai secara menyeluruh. Begitupun demikian, apa yang terjadi tetaplah bisa untuk menggambarkan betapa penegak hukum kita “terlalu galak” untuk rakyat lemah.

Diketahui bahwa Rosidi adalah seorang petani biasa dan buta huruf. Dalam perjalanan pulang dari sawah, ia menemukan sepotong (balok) kayu yang tergeletak di jalan. Entah karena kebutuhan atau menganggap balok itu tidak ada pemiliknya, maka dibawalah benda itu pulang. Selanjutnya, dia bingung ketika mendapat kabar dari tetangga bahwa ada petugas kepolisian yang mencarinya. Ketika dia pulang ternyata petugas kepolisian itu sudah tidak ada. Sedikit “asumsi” disini, informasi yang Rosidi dapat mungkin berkaitan dengan kayu yang dia bawa itu. Rosidi yang bingung, disarankan oleh temannya untuk menemui pihak perhutani, namun oleh perhutani ia disuruh pulang. Dua hari setelah itu, Rosidi mendapatkan panggilan dari Polsek Pegandon, dia datang dan langsung ditahan.

Dari ringkasan berita itu, dapat sedikit disimpulkan bahwa Rosidi adalah petani lugu yang terjebak dalam penanganan hukum yang LUGU juga. Balok kayu itu memang bukan miliknya, namun keluguan orang “desa” yang melihatnya melintang begitu saja di jalan mungkin berpikiran,”Ah, ambil saja, nggak ada yang punya..”. Alangkah wajar, apalagi di pedesaan, “pola pikir” seperti itu jarang menjadi hal yang “mencelakakan”. Andaipun “pemilik” kayu itu merasa kehilangan, dia dapat mengambilnya kembali dari Rosidi. Apalagi jika yang kehilangan itu adalah perhutani, dia bisa menggunakan perangkat desa yang ada untuk memberikan pengumuman. Namun sepertinya, langkah “kekeluargaan” itu tidak dilakukan, itu dilihat dari adanya polisi yang turun tangan.

Adapun demikian, langkah Rosidi yang menemui pihak perhutani dan dengan kemurnian pikiran “wong cilik”nya datang menghadap ketika dipanggil polisi, menunjukkan bahwa pak tani ini sungguh-sungguh beritikad baik untuk mengembalikan. Sebuah pertanyaan “sungkan” karena ini seringkali menjadi “rahasia umum” adalah, tidak bisakah saat di Polsek itu Rosidi dilepaskan asalkan kayu itu dikembalikan? Atau karena “hal lain”?

Oke, mungkin secara hukum (pidana) Rosidi memang bisa dianggap bersalah (mengambil barang berharga yang bukan miliknya, meskipun tergeletak di jalan), tapi sungguh “miris” jika selalu sedikit saja “pelanggaran” hukum yang sebenarnya bisa “ditolerir” harus diselesaikan di meja hijau. Para penegak hukum seharusnya lebih “dewasa” dengan berkaca pada kasus “kecil” nenek pengambil kakao, pencuri semangka dan baru-baru ini tentang sandal jepit. Hukum memang perlu ditegakkan, namun hendaknya tidaklah “LUGU” dalam penerapannya. Kasus “mungil” yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan alangkah baiknya tak perlu sampai ke persidangan, KASIHAN.

Kisah ini jadi mengingatkan tentang sejarah nenek moyang masa lalu. Kalau tak salah tentang begitu “TEGAS”nya seorang Ratu Sima di Kerajaan Kalingga (Holing). Bahkan putranya sendiri yang hanya “menyentuh” buntalan uang yang tergeletak di jalan harus dihukum potong tangan. Tegak sih tegak tapi mbok ya tidak kebangetan!

Rosidi, oh..Pak Rosidi, riwayatmu kini, petani lugu terjerat hukum yang lugu juga. Namun lebih disayangkan lagi jika ternyata penegak hukum dalam hal ini hanya “lugu-luguan”, jadinya kita akan dipertontonkan lagi suguhan yang “tidak lucu”. Mudah-mudahan, beliau mendapatkan keadilan yang substansial.

Semoga bijaksana.

.

.

C.S.

Kakekku juga petani lugu..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline