Malam beranjak ke angka sembilan pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan, sepintas kulirik tampak menyembul dari sela-sela jaketku. Dingin mulai menyeruak seiring hempasan angin yang semakin deras menyapa, bersama laju motor yang kupacu. Benturan halus pada bagian belakang helm yang kupakai menyadarkan bahwa gadis yang lekat di punggungku mulai mengantuk.
Kukejapkan waktu untuk sentuh tangan lembutnya yang melingkar pasrah di perutku. Dingin. Aku harus mengajaknya berhenti, perjalanan tak tentu tujuan dari Yogyakarta ke arah Magelang ini sudah terlalu lama kami tempuh. Telapak tanganku pun mulai terasa kebas pada putaran gas.
Pada sebuah warung makan yang belum tutupkan dagangan, kuputuskan untuk menepi. Sedikit mengerjapkan mata, dia mulai sadar bahwa kami tengah berhenti. Dalam lelah yang tak tersembunyikan, dia turun perlahan, mencoba tersenyum ketika helmnya ia lepaskan, lalu disambut tiupan angin malam yang menguraikan harum rambutnya yang bergerai beriapan. Kusandarkan motor, lalu memapahnya seiring, berjalan perlahan.
“ Kamu lelah, Mas Surya?”
“ Hm,..kamu yang butuh istirahat, Ras..”
Ia tak membantah, hanya tersenyum tipis, namun tetap manis. Sejenak duduk di bangku panjang, kopi pesanan kami pun disajikan.
“ Tutup jam berapa, Pak?” tanyaku sedikit berbasa-basi pada pemilik warung.
“ Mungkin sebentar lagi, Mas. Udah mulai sepi. Habis perjalanan jauh ya, mau ke mana?”
“ Ke Magelang, Pak”
“ Oooh, masih satu jam lagi, ngaso dulu lah. Itu mbaknya, kelihatan capek”
“ Nggih, Pak. Numpang sebentar boleh kan?”
“ Monggo-monggo, santai saja,..hehe..”
“ Maturnuwun, Pak”
Pemilik warung berusia setengah tua itu berlalu. Kuambil gelas kopi yang masih panas dan kepulkan asap itu. Kugenggam tangan Laras, kekasihku itu, lalu kutempelkan gelas kopi itu di telapaknya.
“ Hangat kan, Ras?”
“ Iya, Mas. Tau aja nih, caranya..”
“ Ya udah, diminum dikit-dikit, sekali-sekali kamu ngopi kan nggak papa..”
“ Iya..”
Kupandang wajah ayunya yang tampak pucat, di mataku ia tak mampu lagi tutupi rasa letihnya. Kasihan. Sedetik aku terhenyak dalam rasa sesal yang begitu membuncah. Langkah kami yang tak tentu arah ini jelas sebuah kesalahan besar. Tak seharusnya aku ikuti permintaannya untuk membawanya pergi ke mana saja, tanpa tujuan pasti. Hanya karena ingin turuti keinginannya lari. Lari dari kenyataan, bahwa dua hari lagi adalah waktu baginya untuk dinikahkan. Dengan pria pilihan orang tuanya, berdalih perjodohan yang penuh kebahagiaan. Padahal bukan sebuah prasangka, namun kenyataan yang ada, pernikahan itu diadakan karena sang besan telah sanggup untuk menuntaskan segala hutang. Hutang yang tak terbayarkan hingga orang tua Laras terancam akan kehilangan segala miliknya.
Ah, aku keterlaluan. Telah menimpakan alasan bahwa pelarian ini adalah hanya hasratnya. Harus kuakui, ini adalah inginku juga. Sebuah kesalahan ketika aku mengeraskan hati dengan hanya bermodalkan cinta kami berdua. Yang pada akhirnya harus menyerah pada kenyataan, membawa kekasihku ini pada sebuah kebimbangan. Bimbang tentang aku, bimbang tentang masa depan, nasib keluarga, orang tua dan juga ketiga adik-adiknya.
Pada malam tak bertepian ini, dalam kelelahan hati, aku harus tahu diri. Tiba saatnya untuk sebuah keputusan. Meski perih itu tak mudah untuk ditahan, aku harus memutuskan, tentang rasa yang harus merelakan.
“ Mas Surya, jalan lagi, yuk. Nanti kemaleman..”
“ Ayo lah, kalau sudah nggak lelah..”
Kami pamit setelah membayar harga dua gelas kopi dan mengucapkan terima kasih pada pemilik warung, yang saat itu mulai bersiap menutup dagangannya. Sepi dan sunyi, kendaraan yang melintasi jalan ini pun mudah dihitung dengan jari, hanya sesekali. Bayang-bayang pohon di tepiannya tampak menari-nari, tertiup angin di sela cahaya lampu mercury.
Kunyalakan kembali mesin motorku, suaranya meraung pelan. Laras kembali luruh dan memelukku dari belakang, begitu lekat seakan tak ingin terpisahkan. Lalu perlahan gas kuputar dalam tangan sekejap bergetar, kami melaju. Telah kuputuskan kemana perjalanan akan kami lanjutkan. Meskipun Laras tersadar dan meronta saat aku putar haluan.
“ Lho. Mas! Kok kembali! Mau kemana?”
“ Kita pulang, Ras!”
“ Maksudmu? Apa-apaan sih, Mas?”
“ Kita pulang!”
“ Nggak mau!”
“ Ini kenyataan! Kenyataan!”
“ Mas..”
Aku tahu ia menangis, isakannya jelas di punggungku yang serasa patah. Aku biarkan, karena akupun berusaha menahan perih itu di dada. Malam beranjak ke angka sepuluh pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan, sepintas kulirik tampak menyembul dari sela-sela jaketku. Dingin mulai menyeruak seiring hempasan angin yang semakin deras menyapa, bersama laju motor yang kupacu.
Kukejapkan waktu untuk sentuh tangan lembutnya yang melingkar pasrah di perutku. Dingin.
.
.
C.S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H