Lihat ke Halaman Asli

Tulisan yang “Jujur” Atau “Aman”?

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menulis di media/blog/jejaring sosial keroyokan semacam Kompasiana ini jelas menyodorkan pilihan-pilihan posisi terkait tema tulisan. Mengingat sebuah tulisan yang telah dipublish berpeluang terbaca oleh sekian banyak orang, maka penulis tak pelak akan dihadapkan pada apa yang disebut dengan reaksi pembaca. Reaksi pembaca bisa negatif dan juga positif. Meskipun reaksi-reaksi itu tidak selalu tertuang dalam bentuk komentar, namun diyakini bahwa tanggapan itu tetap ada dan disimpan (meski dalam hati).

Mengingat media ini bukan hanya untuk menulis dan membaca, namun juga ada sisi sosial sebuah pergaulan di sana, yakni adanya interaksi dan juga relasi pertemanan, maka ada sesuatu yang meski secara semu “mengganjal keinginan” kita, dalam arti munculnya pengorbanan untuk sedikit belajar menahan diri.

Mungkin, jika mau jujur, kita yang menjadi bagian di sini, terutama saat memposisikan diri sebagai penulisnya seringkali berada pada sebuah dilema, yaitu menuliskan secara JUJUR apa yang ingin kita ungkapkan ataukah memilih bahan tulisan yang AMAN. Walaupun kadang kedua pilihan itupun tidak selalu pasti efek reaksinya. Katakan saja, menulis secara jujur seringkali tidak aman tapi tidak selalu tidak aman. Sedangkan menulis secara aman seringkali tidak jujur,tapi tidak selalu tidak jujur juga.

Hehe. Sorry, bikin bingung ya?

Jadi begini. Intinya semua itu hanya bisa dirasakan kok. Lebih baik dikasih contoh ya. Hal ini terutama mudah dirasa ketika kita menuliskan sebuah opini, meskipun rubrik lain bahkan pada tulisan fiksi pun bisa berpeluang untuk (diraba) ada dimana posisi kita. Misalnya, terkait isu kenaikan BBM. Ada yang “jujur” mendukung atau menolak kebijakan pemerintah, dengan resiko dukungan,kritik,hujatan ataupun cemoohan dari pembaca lain sesuai tendensinya. Ada juga yang memilih menuliskan tema itu secara “aman” dengan pengorbanan pribadi menahan diri akan sebuah pendapat “jujur”nya. Mungkin wahana “pelepasan” yang untuk penulis sejenis ini adalah menuangkannya dalam “fiksi”. Meski beranggapan tulisan fiksi itu “aman”, namun pembaca pun tetap akan dapat menebak ada dimanakah haluan si penulis. Demikian juga dengan tema-tema terkait agama, politik, birokrasi, isu terkini dan lain-lainnya.

Dilema untuk menuliskan sesuatu yang jujur atau aman itu tak pelak pasti menjadi bahan menimbang. Maka itu banyak yang memilih tema-tema yang dirasa akan “terbebas” dari peluang bantahan atau hilangnya antusiasme pertemanan (judgement). Ooo, si A ternyata begini to, nggak sama dengan aku, jadi males nih sama dia. Ooo, si B begitu to, ooo si C beginu to.

Lalu harus bagaimana? Ya terserah Anda. Mau jujur tapi nggak aman, aman tapi nggak jujur, atau jujur dan aman. Yang jelas apapun resiko responnya, tetaplah menulis sesuai TOC dan tetap belajar dewasa menyikapi sebuah perbedaan pendapat, syukur-syukur tetap bisa berdiskusi  secara sehat, siapa tahu akan saling mencerahkan. Kan katanya Sharing and Connecting?

Salam.

.

.

C.S.

Berusaha jujur, mudah2an aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline