Lihat ke Halaman Asli

Pemilik Alphard Itu Orang Mampu, Pemilik Xenia Dan Lainnya?

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, dahulu ketika pemerintah berencana mengambil kebijakan pembatasan BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi hanya diperuntukkan bagi angkutan umum, niaga dan sepeda motor, serta merintis konversi ke BBG (Bahan Bakar Gas), secara pribadi Saya meski terasa berat telah “legowo” menerimanya. Sebagai salah satu pemilik mobil pribadi (meski kendaraan tua tapi tetaplah mobil), saat itu sudah terpikir rencana buat Saya untuk lebih mengetatkan pengeluaran. Dengan harapan mencoba menyesuaikan diri untuk mengisinya dengan pertamax, atau jika ternyata terasa tak mampu, maka akan lebih baik mengandangkan mobil Saya dan kembali menjadi biker, bersepeda motor ria lagi seperti dulu. Meskipun jarak tempuh dari rumah ke kantor sekarang tak sedekat yang dahulu. Atau dengan segala ketidaknikmatan yang harus dihadapi, tak ada salahnya menggunakan angkutan umum. Pokoknya dengan berbagai usaha adaptasi lah.

Tapi ternyata kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tersebut secara nasional terkendala infrastruktur pendukung yang belum siap. Dan akhirnya karena ternyata ditambah lagi dengan kondisi internasional yang semakin parah terkait harga minyak dunia yang melambung, pemerintah kembali merencanakan kebijakan yang tak populis, yaitu menaikkan harga BBM bersubsidi. Saat itu sempat terpikir, ah..rencana pembatasan itu sekaligus merupakan penyiapan sisi psikologis rakyat, agar saat nantinya ada kenaikan dapat lebih diterima, karena jika dibandingkan dengan harus mengisi kendaraannya menggunakan pertamax/plus masih mending menggunakan premium meskipun harganya dinaikkan. Karena harganya tetap dibawah pertamax.

Dan semua tahu, lagi-lagi ternyata rencana itu tak semulus yang dibayangkan. Secara politis, pada rapat paripurna DPR RI tanggal 31 Maret 2012 kemarin, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp.1500,- itu terganjal RUU APBNP 2012 sebagai dasar hukumnya dikoreksi dengan penambahan ayat yang intinya kenaikan harga BBM bersubsidi belum bisa terlaksana. Pada posisi ini, kembali secara pribadi ada kelegaan serta kekuatiran karena jelas pertimbangan pada rapat paripurna itu betul-betul karena alasan politis, bukan substantif apalagi berpikir visioner jangka panjang.

Tak selesai sampai di situ. Batal/tertundanya kenaikan harga BBM bersubsidi serta mengambang/belum pastinya rencana pembatasan sebelumnya terlihat mulai menimbulkan friksi-friksi di lapangan. Gejala bahwa masyarakat mulai “meributkan” tentang BBM bersubsidi itu untuk siapa terlihat muncul ke permukaan. Sebuah kebijakan terdahulu yang sifatnya hanyalah “himbauan” mengenai BBM bersubsidi hanya untuk masyarakat tidak mampu tampak memunculkan riak-riak polemik. Apalagi ketika beberapa waktu kemarin wacana mobil mewah yang “kepergok” mengisi tangki mobilnya dengan premium, banyak nada-nada protes, mencibir, bahkan yang sifatnya perlu dipertanyakan yakni menuduh pemilik mobilnya sebagai “pencuri” terlihat menghangat bahkan cenderung panas.

Salah satu contohnya adalah sebuah mobil merk Toyota Alphard dengan nomor tertentu yang tengah mengisi premium, dipotret lalu tersebar ke media massa. Banyak sekali komentar miring di sana. Meski menyayangkan namun Saya sendiri tidak serta merta ingin ikut “mengutuk”nya. Kenapa demikian? Karena terus terang Saya lebih suka memandang masalah sesuai dengan latar belakang kondisi dan fakta yang ada serta tidak ingin terjebak dalam situasi psikologis pribadi yang ujung-ujungnya bisa mengarah pada sebuah keirihatian.

Sekarang mari kita lihat secara nyata.

Pertama, bukankah belum ada peraturan/undang-undang yang melarang mobil mewah mengisi bahan bakarnya dengan BBM bersubsidi? Seperti kita tahu, hal yang sifatnya himbauan tidak bisa digunakan sebagai klausul yang memaksa pihak lain untuk melaksanakannya, apalagi standar mampu dan tidak mampu itu belum jelas.

Kedua, jika alasan cibiran serta suara miring kita itu dengan pertimbangan bahwa BBM bersubsidi itu adalah untuk orang tidak mampu (frontal sajalah, “miskin”), sehingga para pemilik mobil mewah itu dianggap orang mampu yang “tabu” mengonsumsi premium. Lalu apakah dengan begitu maka pemilik mobil dengan merk lain seperti Xenia, Avanza, Carry dan lain-lain yang bukan kategori mobil mewah itu pemiliknya “bukan orang mampu”? Jika diterapkan logika berimbang, Saya cenderung berpendapat bahwa yang namanya kendaraan pribadi beroda empat (mobil), apapun merknya, baik itu Alphard atau Kijang Doyok sekalipun adalah barang-barang “tersier”. Yakni sarana pendukung dimana ketika seseorang memilikinya, maka dia harus mampu untuk mengoperasikannya dengan pengorbanan segala biaya yang harus ditanggungnya. Jika mobil mewah tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi, maka mobil pribadi lainnya pun juga tidak diperkenankan. Lho kok gitu? Mobil kami Xenia, kalau harus diisi pertamax kami nggak mampu! Kalo nggak mampu ya tak usah pakai mobil pribadi lah, gitu saja kok repot!

Lalu bagaimana dengan mobil plat merah? Yang ini saya kurang tahu apakah mengenai BBM bersubsidi itu masih himbauan atau sudah “wajib”. Jika masih himbauan dan dana operasional untuk menggunakannya secara dinas itu belum disesuaikan, mungkin “wajar” jika kita temui mereka masih mengkonsumsi premium. Jika sudah diwajibkan, pasti dana operasionalnya telah disesuaikan. Yang pasti tidak tepat adalah ketika mobil dinas itu digunakan untuk kepentingan pribadi, harusnya BBMnya pertamax tapi diisi premium, udah gitu minta jatah operasional dari kantor lagi,..ah..ini payah.

Yang ketiga, agak sedikit melebar, yaitu bukankah dana APBN untuk subsidi BBM itu sebagian besar dari perolehan pajak. Dan para pemilik mobil mewah itu sumbangsihnya dalam hal pembayaran pajak secara ideal jelas (jauh) lebih besar dari kita? Maka itu, jika kondisinya sekarang seperti ini, tak pantas lah kita terlalu memojokkan pemilik mobil mewah itu, apalagi menyebutnya “pencuri”.

Dari beberapa hal di atas, meskipun mungkin banyak hal lain yang belum terpikirkan serta diluar kemampuan daya tangkap, saya berpendapat bahwa akan lebih “fair” dan adil jika pemerintah yang saat ini terpaksa menunda kenaikan harga BBM bersubsidi, tetap memiliki rencana visioner untuk secara bertahap meski pelan tapi pasti menerapkan penyesuaian harga BBM secara lebih paten (harga pasar atau range subsidi yang dibatasi/tetapkan). Dan untuk masa sekarang ini, demi kepastian dan keadilan alangkah baiknya merealisasikan kembali/tidak menutup opsi untuk kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi hanya untuk angkutan umum, angkutan khusus/niaga, ataupun juga sepeda motor. Saya pikir ini lebih menuju kepastian. Di samping itu jangan stagnan realisasi  kebijakan untuk konversi BBM ke BBG serta lebih menggenjot pemanfaatan sumber-sumber energi lain, terutama yang terbarukan. Dan jangan lupa, SOSIALISASIKAN secara masif dan kontinyu, komunikasikan! Agar seluruh rakyat bisa betul-betul mengerti dan menyadari apa yang sebenarnya terbaik (tidak bingung). Jangan sampai “didahului” penciptaan opininya oleh media massa yang independensinya masih setengah-setengah, apalagi LSM antah berantah atau parpol-parpol oportunis!

Begitulah pendapat saya. Sekali lagi, bukan bermaksud membela pemilik mobil mewah (saya sendiri mobilnya sudah renta, kok). Mau jujur-jujuran saja, BBM itu terbatas dan bisa habis, memang wajar jika mahal. Kalau memang kita mampu ya beli saja dan gunakan, tapi jika memang belum mampu ya jangan memaksakan diri bermobil ria tapi penginnya BBM subsidi yang murah, lalu mencak-mencak ketika ada pihak lain dengan mobilnya yang lebih bagus (mewah) tapi ternyata beli premium juga. Masih mending jika alasannya mencibir karena pemilik mobil mewah itu “bodoh” mengisi tankinya dengan premium, katanya mesin bisa jebol ( saya mikir lagi nih, lho...katanya mobil bagus, kok “letoy” amat, diisi premium saja mesinnya jebol? Masih mending mobil biasa dong, apa saja “minum” BBMnya, tetap oke!), tapi kalau sudah mengatakan mereka itu “pencuri” atau “tak tahu malu”, sebaiknya berpikir ulang, lah.

Pemilik Toyota Alphard itu pasti orang mampu, tapi pemilik mobil pribadiseperti xenia, avanza, Carry dan lain-lainnya yang masih sering tampak mengisinya dengan premium itu bukan orang tak mampu kan? Kalau tak mampu, ngapain beli mobil, pake sepeda motor saja, lah. Motor mewah juga tak apa kok, tetap saja rodanya cuma dua, kepanasan di jalan!

Ini karena pemerintahan SBY yang nggak becus ngurus! Ah, kalau hanya bilang begitu sih, murid taman kanak-kanak juga bisa! Kita sudah lulus TK kan?

Salam fair.

.

.

C.S.

Kopinya hampir habis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline