Lihat ke Halaman Asli

Saat Istri Lebih "Tajir" Dari Suami

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_135477" align="aligncenter" width="300" caption="From Google"][/caption] Ada sebuah sinetron yang ceritanya mampu menyenggol habis saraf laki-laki Saya. Yang pasti sinetron lama jadul. Bukan sinetron baru jaman sekarang ini.Yang sekarang-sekarang ini, amit-amit! anti banget menontonnya (udah ceritanya ngawur, membonsai akal sehat, dan meski pemainnya cantik-cantik, tapi memble banget. Mana nggak ada adegan "hot"nya.Ah, apa yang mau dicerna.) Saya lupa apa judul sinetron jadul itu. Yang jelas inti ceritanya tentang dinamika berumah tangga.Tentang keluarga. Sang istri mempunyai karier yang cemerlang, penghasilannya besar. Lebih "tajir". Sedangkan sang suami hanyalah seorang guru SD, penghasilannya pas-pasan (maaf, tentunya bukan merendahkan sebuah profesi guru. Guru sekarang tidak selalu berpenghasilan kecil.Apalagi Guru Negeri di DKI Jakarta.Lumayan.) Penghasilan istri melebihi sang suami sudah pasti bukanlah kesalahan. Namun dalam sinetron ini sang istri terlena dengan kemampuan dirinya. Sehingga cenderung meremehkan bahkan menganggap kecil suaminya. Ada salah satu adegan yang kutukupret banget mengenanya. Yaitu saat malam hari menjelang rehat. Sang istri asik mematut diri di meja riasnya. Membersihkan wajah dan merawat muka dengan proses yang panjang dengan berjejer kosmetiknya. Sang suami datang dengan paras mindernya. Kurang lebih percakapan mereka begini: " Ma, ini gajiku bulan ini", sambil menyodorkan sebuah amplop. Isinya uang yang pasti. Sang istri berpaling muka pun tidak. Asik dengan usapan-usapan kapas pembersih di mukanya. Dengan gagah bijaksananya ia hanya berujar: " Taruh saja di laci meja Pa. Papa bisa ambil seperlunya untuk keperluan Papa". Acuh. Asem. Sialan. Kurang ajar. Saya yang menghayati sinetron ini sampai merutuk. Ah, kasihan sekali si suami itu. Sudah bekerja keras sepenuh hati dan bertanggung jawab. Menyerahkan hasilnya kepada sang istri. Eeee, kok tanggapannya hanya seperti itu. Lagi-lagi Saya lupa ending cerita sinetron itu. Yang jelas rumah tangga mereka makin lama makin beku. Tapi ada bara api di dalamnya. Amplop-amplop gaji itu sama sekali tak pernah disentuh oleh sang istri. Menumpuk di laci meja. Dalam dunia nyata sepertinya banyak cerita semacam itu. Suami yang minder karena penghasilan dan kariernya jauh dibawah sang istri. Dan istri yang cenderung menjadi terlena karena penghasilannya yang besar.Lupa tugas, lupa kodratnya sebagai seorang istri. Kecenderungan itu memang selalu ada. Penghasilan besar istri dan rasa minder suami sangat riskan menuju arogansi wanita terhadap pria. Jika arogansi itu tak disadari dan rasa minder dari pihak laki-laki tidak diperhatikan dengan baik. Bibit-bibit keretakan hubungan itu akan sangat mengancam. Kehilangan kehangatan, kasih, ataupun cinta yang dahulu dibawa saat mengikat janji pernikahan lambat laun bisa menjadi kenyataan.Ini jangan disepelekan. Bisa menjadi masalah besar tentunya. Apalagi jika ada kemungkinan datangnya orang ketiga. Wah, sinetron bisa semakin panjang. Tentu saja dibilang omong doang jika Saya tak mengusulkan sebuah saran dan sharing. Penghasilan istri yang lebih besar dari suami tetaplah layak disyukuri. Pada posisi ini. Untuk mencegah hal-hal yang secara manusiawi bisa terjadi dan menghantui adalah dengan saling menghargai. Cinta, kasih, dan komitmen awal saat mengikatkan diri dalam sebuah rumah tangga harus menjadi mantra suci. Jika hal ini terjadi. Wanita harus selalu ingat.Bahwa bagaimanapun juga suaminya adalah seorang laki-laki. Laki-laki yang ingin dihargai, diapresiasi usahanya sebagai kepala rumah tangga. Apapun hasilnya. Meski kecil secara kuantitas, namun kualitas kerja keras dan usaha tak kenal lelah adalah anugerah. Dari manapun datangnya rejeki itu.Baik dari istri ataupun suami.Adalah rejeki bersama untuk membangun kesejahteraan sejati keluarga. Andai saja saya sutradara sinetron itu. Saya akan membuat sebuah skrip dialog tersendiri untuk adegan itu. Saat suami menyerahkan amplop gajinya yang kecil.Kepada sang istri yang lebih sukses karier dan rejekinya. "Ma, ini gajiku bulan ini ", sang suami menyodorkan amplop. "Waaah, udah gajian nih Pa?", si istri berbinar antusias dan tulus. Meletakkan segala alat kosmetiknya. Dan menerima amplop tipis suaminya. " Maaf ya Ma, kecil. Masih segitu-segitu juga", Sang suami masih kecut dan minder. " Ssssst...kita syukuri lah Pa. Besar kecil kan udah ada yang ngatur. Kita kan nggak pernah kekurangan?" " Ah, itu kan karena dukungan penghasilan Mama yang besar". "Ih..Papa. Jangan gitu dong. Ini kan kebetulan saja. Yang lebih besar itu lewat Mama. Kan kalo digabung jadi punya kita semua....he..he. Aku memiliki Suami seperti Papa saja sudah tidak ternilai harganya, apalagi ditambah anak-anak kita kan?" sambil memeluk manja Suaminya. " Hm.., Mama memang "Gaji" terbesar untuk Papa..he..he", " Dan tercantik kan Pa?...hi..hi.." " Terseksi Ma. Ssst...Anak-anak udah tidur?" " Sudah Pules Pa. Emang kenapa..", mengedipkan mata " Sini Ma..." "Aaaah.." CUTTTT!  "SENSOR". Itu adegan sinetron itu kalau saya sutradaranya. Tapi nggak mungkinlah.Pasti sinetronnya langsung tamat. Nggak ada konfiknya. Dan omong-omong, pengalaman tentang gaji suami lebih kecil dari istri itu bukan pada saya lho. Kalo istri saya selalu antusias terima gaji suaminya. Bukan apa-apa. Penghasilan kami "sama-sama minimalis". He..he. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline