Lihat ke Halaman Asli

Menjaga Sepotong Senyuman

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini Saya putuskan untuk kembali ke tampilan lama foto profil. Beberapa kali Saya mencoba mengganti foto profil yang satu ini. Banyak hal di samping kebosanan yang membuat terusiknya niat untuk tampil beda. Foto profil awal dahulu terpajang sosok Saya yang sedang menghisap rokok, kurang sreg (ada yang nyentil), Saya ganti dengan foto ini. Dahulu pernah juga menggantinya dengan tampilan Saya sedang mengemudi dalam sebuah perjalanan, lalu ada yang mengatakan foto Saya itu “aneh” bahkan ada yang bilang mirip sopir angkot (padahal saat itu sedang heboh sopir angkot pemerkosa), apalagi yang menyindir itu sosok kompasianer wanita (dari fotonya tampak lumayan oke juga,..lho apa hubungannya?). Serta merta Saya menggantinya pula dengan foto ini.

Sebelum ini Saya juga memajang foto dengan mimik muka terlihat serius. Terus terang disebabkan adanya komentar pedas dalam salah satu posting Saya ketika membahas sebuah tema yang dianggapnya sangat penting, tapi Saya terkesan bercanda, mungkin saking jengkelnya sampai-sampai dia menyarankan sebaiknya menulis fiksi saja kalau tak bisa serius. Padahal Saya sendiri merasa sudah serius, meski mungkin karena pembawaan Saya yang terkesan sering “guyon” tampaknya membuat yang bersangkutan tetap “tak berkenan”. Penggantian foto terakhir itu jujur karena banyak terpengaruh pendapat/kritik itu (langkah awal kesan serius). Tapi akhirnya tetap Saya putuskan kembali pada foto ini. Kritik pedas ini tetap Saya perhatikan, meski tidak semua harus ditelan. Yang terpenting bagi Saya adalah dimanakah kita bisa merasa nyaman, meski interprestasi, pendapat ataupun penilaian pasti bisa berbeda tiap orang, di sanalah sebuah proses pendewasaan. Terutama bagi Saya sendiri.

Sedikit demi sedikit Saya menemukan alasannya ketika kembali lebih merasa nyaman dengan foto ini. Semua karena ada senyuman di sana. Senyum apa adanya. Saya ingat, foto ini dibuat oleh istri Saya di sebuah wahana permainan anak. Ketika menunggui anak pertama Saya bermain dan anak kedua masih dalam usia delapan bulan kandungan. Saat itu dari berbagai sisi  kami tengah “sedikit dimanjakan oleh Tuhan”, tak ada problem berarti, rejeki sedikit lebih dan semua sehat adanya. Sehingga senyuman yang tertangkap itu adalah senyum lepas bahagia. Senyuman yang bagi diri Saya sendiri yang merasakan saat proses penciptaaannya penuh aura positif yang memancarkan energi untuk pengembangan diri. Tentu saja ini yang Saya rasakan, meskipun pihak lain kecil kemungkinan ikut merasakannya karena di luar diri Saya sendiri tentu saja bebas menilainya, bahkan saat pernah ada yang menganggap senyum saya itu negatif sekalipun (senyum mupeng,...misalnya,..he..he).

Begitu pula setelah sekian lama berbaur di Kompasiana ini. Saya berusaha untuk menyikapi segala hal secara positif, baik itu dalam memposting tulisan, membaca, berkomentar ataupun menanggapi segala komentar. Tentu saja proses ini masih jauh dari yang mungkin diinginkan. Tak Saya pungkiri sekian lama berada di forum ini masih begitu banyak energi negatif yang mungkin Saya pancarkan melalui tulisan ataupun menanggapi komentar, demikian juga energi negatif yang merasuk dari membaca tulisan ataupun berkomentar. Semua masih sering mengiringi proses ini. Walaupun bisa saja dianggap lari dari kenyataan, namun pertimbangan bahwa manusia itu tiada yang sempurna itulah yang paling tepat menjadi alasannya.

Namun demikian, Saya selalu berusaha untuk memberikan sesuatu yang terdapat nilai-nilai, aura ataupun pancaran energi positif itu, atau minimal sebuah penghiburan. Tentu saja tidak berarti membuat saya “terkekang” untuk menulis hal-hal yang terkesan baik-baik saja. Tetap menulis dengan apa adanya, sesuai dengan apa yang Saya rasakan nyaman dan dapat menjadi wahana pelepasan. Yang terutama Saya jaga adalah jangan sampai energi positif Saya berkurang karena pengaruh aura negatif dari luar diri sendiri. Alangkah baiknya jika Saya mampu menyerap energi positif dari luar diri, ataupun membagi energi positif tanpa Saya sendiri kehilangan energi positif itu.

Pada akhirnya, Saya hendak tulus meminta maaf jika selama ini ada yang merasa hanya hal negatif saja yang Saya pancarkan. Tak ada maksud demikian, Saya yakin rekan-rekan sekalian memaklumi segala kekurangan, serta memiliki “filter” yang cerdas. KETULUSAN dalam berbagi pendapat, pemikiran ataupun pencerahan via tulisan ataupun tanggapan Saya yakin akan memancarkan sendiri energi positif di antara kita untuk saling menguatkan dan mendewasakan. Proses pembelajaran akan terus berjalan.

Meski berbeda pendapat, daya tangkap, penilaian atau bahkan berbeda kepentingan, alangkah baiknya berusaha santun dan tidak menyakitkan. Kita tak sempurna, semua memiliki kekurangan, di situlah perekat saling melengkapi itu hadir. Bagaikan mozaik indah yang menyatu dalam berbagai paduan warna tanpa saling menimpa. Anda jadilah Anda dan Saya jadilah Saya. Tetaplah menjaga sepotong senyuman. Itu lah makna berbagi dan terkoneksi. Sharing and connecting.

Salam Damai dan Persahabatan, Saya sangat menghormati Anda semua.

.

.

C.S.

(Catatan/mungkin yang pertama setelah sekian lama berkompasiana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline