Lihat ke Halaman Asli

Preman Dan Setangkai Mawar Pagi

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ah! Bang Alex, lelaki bertampang kasar itu selalu datang ke tempat kostku tiap pagi. Sejak dia tahu aku dekat dengan Maya, teman kuliahku, ketika mentari masih redup dia selalu rajin datang. Meski dia pernah menolongku saat di todong di sebuah perempatan kota, tapi aku tak menyangka akhirnya setiap pagi harus menerima titipannya. Titipan untuk Maya.

Aku sangat risih dengan kedatangan lelaki yang tampaknya sering dipanggil Abang oleh preman-preman di barat kota ini. Termasuk penodong yang dulu hendak berniat jahat padaku itu. Aku masih ingat, mukanya begitu pucat saat dia kepergok Bang Alek tengah berusaha meminta uang dan mengacungkan pisau padaku. Ternyata dari sekelumit bentakannya aku sedikit tahu, lelaki kasar yang sebenarnya tampan ini layaknya seorang “penguasa” wilayah, terutama wilayah barat kota, termasuk daerah yang menjadi tempat kostku ini.

Dari sejenak percakapan waktu itu, dia sama sekali tidak selera untuk berbuat jahat padaku, apalagi setelah tahu aku sekampus dengan Maya, gadis cantik yang beberapa waktu ini lumayan dekat denganku. Dan ternyata, kedatangannya tiap pagi hanyalah menitipkan sesuatu yang harus kusampaikan pada Maya. Setangkai bunga segar, mawar merah. Hatiku sempat sedikit panas meski takut, jangan-jangan dia naksir juga pada Maya. Yang berarti aku harus bersaing dengan seseorang yang sering disebut dengan preman itu. Ah, sialan juga!

“ Maaf, Bang Alex. Buat apa sih, tiap harip nitip bunga? Kalau abang naksir, kasih saja sendiri!”

“ Hai!, jangan mulai belagu kamu! Kalau dulu tidak ada aku, perutmu sudah bolong, tahu!”

“ Iya. Tapi kenapa abang tak ngasih ke dia langsung?”

“ Nggak usah banyak tanya! Kasihkan saja! Bilang dari Bang Alex, dia suka bunga itu!”

Tak ada gunanya beradu mulut dengan preman ini. Lagian, kupikir ini tidak terlalu merepotkan, meski gondok dan risih. Tapi, aku yakin tak mungkin kalah “bersaing” dengan lelaki kasar ini. Bukankah Maya pernah mengangguk saat kunyatakan suka padanya?

Rasa penasaranku tentang “penggede” preman inipun tak terjawab saat kutanyakan pada Maya. Dia selalu menerima dengan baik bunga itu, dia masukkan ke dalam tasnya, lalu alihkan bahan bicara. Aku tentu saja tak ingin memaksa mengejar bertanya.

Hari-hari berlalu dengan tiap pagi aku rutin menjadi “kurir” terpaksa dari preman mengerikan ini. Hingga suatu hari yang aneh, ketika pagi merambat, Bang Alex tak menampakkan batang hidungnya. Yang kubilang aneh itu adalah ternyata aku seperti menjadi menunggu. Ada rasa tak ingin mengabaikannya, apalagi dari hari ke hari sikapnya telah jauh dari kasar. Bahkan cenderung lembut seperti seorang kawan.

Akhirnya aku bisa memastikan dia tak datang, kuatir terlambat kuliah, dia kutinggalkan saja. Apalagi aku sudah begitu ingin berjumpa dengan Maya, meskipun hampir setiap hari kita selalu bersama-sama.

“ May,...tumben sekali nih, Bang Alex nggak nitip bunga”

“ Hm,..aku tahu”

Ada yang semakin aneh, karena hari itu Maya tampak murung dan matanya terlihat sembab.

“ May, kamu kenapa? Habis nangis?”

Gadis ini tak menjawab, hanya menyodorkan sebuah koran pagi. Karena aku yakin berita yang ada di sana menjadi sebab murungnya, dengan penuh penasaran kubaca dengan cermat. Pada halaman pertama koran itu, nampak foto orang yang kukenal, yang pagi ini tak datang. Bang Alex!

Dan tak kupungkiri, ada sebuah rasa kehilangan yang tiba-tiba datang, ketika kubaca judul beritanya, tentang dia yang tertembak mati oleh petugas kepolisian.

“ Hm...., Bang Alex, May. Dia tewas...”

“ I..iya..”, Maya hanya menjawab pendek, lalu tak kuasa menahan isaknya.

“ May,...kenapa May? Siapa dia sebenarnya, tolong jawab aku”

Sejenak diam, menyesap nafas yang panjang, sambil mencoba mengatur isak tertahan, gadis cantik yang kuanggap kekasihku ini akhirnya membuka suara, meski lemah dan bergetar.

“ May,...Bang Alex, siapa?” tanyaku kembali.

“ Dia,...abangku”

Gadis ini rebah padaku, lalu aku tulus merengkuhnya dalam pelukku, meski masih begitu banyak tanya tersimpan, aku tahu dia tengah dilanda kesedihan yang mendalam. Aku ingin Maya tak lagi menahan tangis yang pasti hendak dia tumpahkan.

“ Sabar, May. Kita akan menaburkan banyak mawar yang indah, di tempatnya beristirahat”

Dan tangis Maya masih terus mengalir tertumpah, pagi itu kami berada dalam duka.

.

.

C.S.

febr/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline