Lihat ke Halaman Asli

Layanan "Whistleblowing System”, Kenapa Hanya Kemenkeu Yang Berani?

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1329799959310397109

[caption id="attachment_162489" align="aligncenter" width="442" caption="Tampilan Laman "WiSe""][/caption]

Pencegahan serta pemberantasan korupsi di Indonesia seharusnya dilakukan secara serentak. Masyarakat diharapkan bisa berperan dalam pencegahan, pengawasan dan penindakan bukan hanya pada institusi pemerintahan saja, namun seharusnya juga pada semua institusi yang semua dimungkinkan terjadi adanya praktik penyimpangan/pelanggaran atau korupsi, baik itu instansi pemerintah, BUMN, bahkan swasta sekalipun.

Peran yang bisa diharapkan dari masyarakat minimal adalah sebagai pelapor adanya indikasi itu. Beberapa waktu belakangan peran ini lazim disebut sebagai “whistleblower” (peniup peluit). Tindakan ini seringkali mampu menjadi titik awal dalam menyelidiki dan menindak adanya praktik-praktik pelanggaran serta perbuatan pihak yang terindikasi masuk dalam kategori korupsi, di lembaga/institusi manapun dia berada.

Namun sayangnya sampai sejauh ini sepengetahuan penulis baru kementerian keuangan yang “berani” memfasilitasi publik untuk menjadi peniup peluit tersebut. Kementerian yang di pimpin oleh Pak Agus Martowardojo) pada tanggal 5 Oktober 2011 (dilansir Kompas.com) yang lalu telah meluncurkan layanan WiSe (Whistleblowing System), yakni aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan bagi kita yang memiliki informasi dan ingin melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan RI.

Layanan yang dapat diakses pada laman www.wise.depkeu.go.id ini dikoordinasikan oleh inspektorat jenderalnya (itjen). Kita tentu saja tak perlu kuatir dengan kerahasiaan pribadi kita sebagai pelapor karena yang fokus diperhatikan di sana adalah “mutu” laporannya, bukan siapa pelapornya. Secara garis besar, laporan yang bermutu yakni yang akan menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti adalah laporan yang memenuhi syarat 5W+1H yaitu memenuhi unsur what,where,when,who,dan how. Terlebih lagi jika laporan kita diperkuat dengan bukti baik itu foto, dokumen dan lain-lainnya. Untuk lebih detailnya kita dapat mengakses langsung laman tersebut dan mencoba bertanya di sana jika ada hal yang kurang jelas.

Di luar akan berfungsi secara efisien atau tidak, langkah Kementerian Keuangan ini patut diapresiasi. Dan sepertinya layanan ini berfungsi dengan baik jika kita lihat perkembangan data yang ada di sana terkait jumlah pengaduan, tindakan serta penyelesaiannya.

Satu hal yang patut untuk dipertanyakan adalah kenapa hanya Kementerian Keuangan yang berani menerapkan hal ini? Apakah hanya Kementerian ini yang memungkinkan praktik korupsi itu terjadi? Padahal fakta yang selama ini ada, bukan institusi ini yang tertinggi tingkat korupsinya.

Alangkah baiknya jika wadah untuk para peniup peluit ini disediakan pula oleh kementerian ataupun institusi lain, termasuk juga BUMN bahkan pihak swasta sekalipun. Tujuannya adalah agar langkah awal pemberantasan korupsi ini merata dan bergerak bersama. Dan jangan sampai ada kesan bahwa hanya institusi ini yang paling pantas memberikan layanan ini. Apakah mentang-mentang kementerian ini pernah di”coreng mukan”ya oleh si Gayus Tambunan sehingga hanya di sana layanan ini layak diterapkan?

Kemungkinan terjadi pelanggaran/korupsi ada di mana-mana, oleh karena itu patut diterapkan juga layanan WiSe pada institusi yang lainnya, agar merata. Semua perlu diawasi. Ataukah sudah ada? Setahu saya yang lainnya belum.  Semoga nantinya iya.

.

.

C.S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline