Lihat ke Halaman Asli

Dalam Dekapan Senja

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13267978722084954757

Seperti biasanya, aku harus menuntaskan terlelap dari pagi sampai sore hari setelah semalaman tugas jaga. Yah, karena memang pekerjaanku sehari-hari adalah satpam di perusahaan pembuat roti di sini. Tapi tidurku belum begitu puas sebenarnya, aku terbangun karena tepukan pelan istriku yang sepertinya takut aku marahi. Dia yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cuci baju warga komplek di sebelah kampungku ini, biasanya tak pernah berani membangunkan tidurku. Karena aku selalu mendampratnya jika itu nekat dilakukan. Tapi sepertinya ini sebuah keterpaksaan, jika tidak mana mungkin Ia nekat, apalagi di luar hujan lebat, pasti ia tahu, tidurku seharusnya sangat lelap.

“Hih!, ada apa sih? Sudah kubilang berkali-kali, kalau Aku habis turun jaga, jangan di ganggu!”

“Maaf...Pak. Lilik kok belum pulang juga ya, ...sudah mulai sore. Mana hujannya gede banget lagi..”

Lilik adalah anak kami satu-satunya, laki-laki. Tahun ini dia menginjak kelas 5 SD. Kami sekolahkan dia di SD Negeri terdekat. Meski katanya gratis, tapi tetap saja selalu ada uang yang harus kami keluarkan. Bagi kami itu tetap saja berat, untuk biaya hidup sehari-hari saja kami masih sering kuwalahan. Itulah yang membuatku sering terlalu bersikap keras padanya, mungkin karena badanku yang seringkali kurang istirahat sehingga emosiku mudah sekali tersulut. Tadi pagi, Lilik kubentak saat meminta uang untuk membeli buku tulis, sebab saat itu aku  baru saja pulang jaga dan benar-benar tak punya uang.

“Lho!..Kamu kan ibunya! Masak anaknya kemana tidak tahu?”

“ Bapak juga kan tahu sendiri, dia jarang sekali main di luar, lebih suka belajar”.

“Tadi pamitnya kemana?”

“Kan Bapak yang di rumah?, aku kan tadi ke komplek, banyak cucian.”

“Huh! Anakmu mulai nakal, nanti ku gampar dia! Biar kapok!”

“Mbok ya, jangan galak-galak begitu dong Pak sama anak”.

“ Iya..iya! Biar kucari dia sekarang!”

Meski sambil ngomel karena terganggu tidurku, aku tetap beranjak. Ku sambar jas hujan, dan kunyalakan motor bututku. Satu persatu kudatangi rumah teman-temannya, tapi semua menjawab tidak tahu Lilik di mana. Kucoba juga menuju ke tanah lapang yang tersisa di kampung ini. Ah..., kudengar suara riuh anak-anak bermain bola, Lilik pasti di sana, meskipun mungkin hanya jadi penonton saja. Karena pernah kujewer keras telinganya, ketika kakinya terluka kena pecahan beling saat ikut-ikutan bermain bola. Tapi, aku kembali kecewa, tak kulihat sosok mungil anakku di sana, bahkan aku sempat tak enak rasa, ketika aku langsung membentak seorang anak kecil yang berjongkok menonton di bawah pohon. Kaus lusuh bergambar power rangers itu serupa dengan yang sering dipakai anakku. Tapi ternyata anak itu bukanlah Lilik.

Ternyata sudah sekian lama aku mencarinya. Aku mulai panik. Hari mulai senja, malam nanti aku harus kembali bekerja, berjaga malam. Sedangkan tempat-tempat yang kuharap bisa menemukan anakku telah kudatangi, tapi Lilik tak kutemukan juga. Pikiranku mulai terlintas hal yang tidak-tidak. Jangan-jangan anakku di culik,...ah..tapi dia kan anak orang miskin? Mau minta tebusan berapa?..Tak mungkin. Eh..tapi Aku pernah baca di koran sewaktu jaga malam,..beberapa anak ditemukan meninggal dan diambil organ tubuhnya. Oh..tidak..jangan. Lilik, kamu di mana?

Tak mungkin aku segera pulang dengan tangan hampa. Istriku pasti menangis dan menyalahkanku jika aku pulang sendirian. Tapi harus mencari kemana lagi? Aku sudah berkeliling kesana kemari. Haruskah lapor polisi? Uh!...aku kurang percaya pada petugas-petugas itu.

Senja mulai temaram, motor bututku mulai berkeliling tak tentu arah, bahkan menapaki jalan raya yang sepertinya tak mungkin anakku sampai ke sana. Tak sadar, ternyata aku sudah tiba di terminal bis. Sepertinya kupikir aku menjadi linglung, ngapain kalau Lilik sampai ke sini? Satu kali pun Dia belum pernah bermain sejauh ini, karena memang aku tak punya uang dan waktu untuk mengajaknya sekedar bepergian ataupun berjalan-jalan.

Ah. Sia-sia kurasa, aku mulai putus asa. Kuputar kembali arah motorku, lebih baik aku pulang. Siapa tahu justru Lilik sudah di rumah. Atau jika tidak, aku harus siap mendengar tangis istriku, lalu meminta pertolongan orang sekampung untuk ikut mencarinya.

Kususuri kembali jalan raya ini. Hujan mulai reda, tapi gerimis masih tak henti jatuh. Tampak lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, juga mobil-mobil yang berlalu-lalang, tampak menyilaukan. Sinarnya memantul menerpa jalanan aspal yang di sana-sini mulai berlubang karena genangan air hujan.

Kutarik kencang rem sepeda motorku, sampai-sampai aku hampir terjungkal kedepan karena terlalu mendadak melakukannya. Sebab, di seberang jalan aku sempat melihat sosok serupa yang kucari. Meskipun belum tentu benar, tak ada salahnya aku berharap. Kuputuskan untuk menyeberangi jalan ini, berjalan kaki. Karena jika menggunakan motor justru terlalu jauh memutar, ini jalan satu arah.

Dalam gerimis kupercepat langkahku. Anak itu menyusuri tepian jalan, sempat kulihat badannya terhenyak, terkena cipratan air dari ban sebuah mobil yang melaju kencang. Ah, keterlaluan.

Semakin dekat semakin terlihat, anak ini berjalan pelan karena sedikit pincang, timbul sedikit hilang harapan. Bukankah Lilik normal dan tidak pincang? Ah, biarkan saja, jika bukan anakku, dia akan tetap kutanya, barangkali pernah juga melihat Lilik dengan ciri-ciri yang akan kujelaskan.

Anak itu berhenti, duduk di tepi jalan, mungkin kelelahan. Tangannya mendekap erat sebuah benda. Itu payung. Dan payung itu,...Ya Tuhan, meski gelap, aku mengenal payung perak itu. Itu payung kami, kudapat saat ulang tahun perusahaanku kemarin lalu. Oh,...Lilik. Itu benar Lilik,...anakku. Kenapa....?

Tepat di depannya. Anak lusuh yang benar Lilik itu gemetar menatapku. Bukan hanya gemetar takut padaku, tapi lebih karena badannya yang basah kuyup. Ia menggigil kedinginan, bibirnya tampak membiru, wajahnya pucat tampak pias diterpa cahaya lampu jalan.

“ Lilik.....”. Suara bentakan yang selama ini tanpa sadar selalu kutimpakan, lenyap entah kemana.

“ Ba..., Bapak...”. Suaranya lirih, mungil dan menggigil.

“ Iya,..ini Bapak..., ngapain kamu disini?”

“ Am...ampun...Pak. Lilik..., Lilik...”.

“ Iya..Lik..., kamu..kamu ngapain disini...”. Ada yang menggumpal di dadaku dan bergerak mencekat tenggorokan.

“ Lilik,...Lilik ngojek payung, Pak. Pengin beli buku tulis...., ampun Pak..”.

Aku terdiam. Mendadak bisu, seperti terpidana mati saja rasanya. Riuh suara kendaraan, juga nyala lampu lalu lalang, semakin menyilaukan mataku yang aku yakin berkaca. Mereka seperti beramai-ramai mengacungkan telunjuk kecewa padaku.

“ Lilik,...ayo kita pulang. Nanti,...nanti aku belikan..”

Tak mampu lagi kutahan. Kupeluk erat tubuhnya yang menggigil, lalu kugendong dipunggung. Sudah sekian lama rupanya, hal ini tidak kulakukan, sehingga anakku nampak sedikit sungkan. Lalu kami berjalan, hujan rupanya belum selesai, rintik gerimis mulai membesar dan berpacu menjadi hujan deras. Kupercepat langkahku, rupanya aku baru sadar jika tubuh Lilik terlalu kurus, jelas terasa ringan menempel di punggungku.

Dalam dingin dan gigil, Lilik masih terbata, bercerita menjawab tanyaku. Kakinya terluka saat terpeleset di selokan, juga recehan yang dia terima dari penyewa payung serta saat akhirnya dia tak tahu jalan pulang.

Senja benar-benar akan mencapai  malam, gelap sempurna sekejap segera menyapa. Juga derai hujan dan bias lampu jalan, menyapa hatiku yang sekian lama beku dalam hidup yang kelu. Maafkan Bapakmu, anakku.

.

.

Jan/2012

.

C.S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline