Lihat ke Halaman Asli

Caci Maki Saja Diriku

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1327044986774126382

[caption id="attachment_156645" align="aligncenter" width="274" caption="from google"][/caption] . .

“Maaf, Pa. Tifa sampai saat ini belum mau bertemu denganmu.”

Aku hanya tersungging kelu, memandang wajah istriku yang tampak semakin layu. Mudah-mudahan hanya karena waktu, ah..tapi kuyakin bukan, bukan hanya karena waktu. Jika kuhitung baru dua tahun aku menjalani hukuman di Lapas ini, berarti baru dua tahun pula bertambahnya umur kami. Istriku nyata tampak lebih sayu dari umurnya.

“ Tak apa lah, Ma. Aku masih jelas mengerti. Dia pasti sangat malu dan terluka. Tifa..., wajar Dia sangat membenciku. Dahulu di kampusnya dia sudah terlanjur dipuja menjadi idola, mahasiswi yang lantang dan giat menyuarakan semangat anti korupsi. Eh,...tak tahunya, Papanya sendiri yang harus di penjara karena korupsi..”.

Tatapanku kosong pada sudut ruang, di sana terlihat seekor laba-laba kecil, dalam sendiri merangkai sarang.

“ Sabarlah, Pa. Nanti waktulah yang akan berbicara, bagaimanapun juga, Kau tetaplah Papanya”.

“ Kuliah Tifa gimana Ma?”

“ Masih Pa, tapi dia tidak bersemangat lagi seperti dulu. Nilai-nilainya juga kurang menggembirakan”.

“ Hmhhh..., gara-gara Aku. Maafkan aku Ma, meski mungkin kau bosan, hanya itu yang saat ini bisa kuucapkan”.

Istriku hanya tersenyum getir. Sekilas ada sedikit hembusan angin di ruang besuk ini. Cuaca yang lebih gerah dari biasanya, mungkin hari ini akan hujan.

***

“ Aku benci Papa!, malu!, aku tak mau bertemu denganmu lagi!”.

Itu teriakan anak gadisku satu-satunya, Tifa. Dahulu, saat palu hakim Pengadilan Tipikor memutuskan Aku terbukti bersalah, melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi vonis yang pantas. Persidangan yang mudah, karena kuatnya bukti, dan aku mengakui. Termasuk pengakuanku sendiri pada anakku, yang membuatnya benci padaku setengah mati.

“ Maafkan Papa, Tifa....”. Itu suara lirihku.

“ Tidak! Tak kan pernah!...Kau bukan Papa!”.

Dia berlari dan menangis, sepintas kudengar sedikit riuh suara pengunjung sidang yang menyorakinya. Sorak melecehkan, karena sebagian besar pengunjung itu adalah para aktifis mahasiswa yang selama ini mengidolakan anakku. Semua menjadi kusam, buram dan mendung sejak itu.

***

“Pa, Aku pulang dulu. Jam berkunjung sudah habis”.

Suara istriku memecah secuil lamunan kisah itu. Seperti biasa, hanya kata maaf dan terima kasih yang mampu terlontar dari bibirku saat merelakannya berlalu.

Sembilu itu masih terus menggores ulu hati. Bukan vonis hakim ataupun dinginnya sel yang menyiksaku. Tapi hukuman terberat dari darah dagingku yang tak henti menindas mimpi. Entah kapan berakhir, atau mungkin aku memang harus menyerah dan menyadari. Hukuman inilah yang pantas untuk mampu menyiksaku.

Sedikit hembus angin pengap, yang enggan menelusup di sela jeruji sepi. Mungkin dia pun tak sudi menyampaikan pesan. Betapa aku menyesal, telah menusukkan duri dan memadamkan api suci yang selama ini membuat hidup anakku berseri . Permohonan maafku mungkin tak berbatas waktu, entah sampai kapan ada setitik rindu padaku. Atau mungkin hanya kesia-siaan belaka, berharap hujan pada angin yang berlalu.

Sungguh hanya ada satu mimpi, kuingin mendengar ia bercahaya lagi, hidup kembali. Ah,..Tifa anakku, apakah kamu sekarang tak pernah ingin bernyanyi lagi, seperti saat dulu kita penuh canda tawa, sebelum pisau kejamku melukai, dalam dadamu, tepat di jantung dan bilik hati?

Masih terngiang nada-nada yang dulu sangat kau sukai, suaramu merdu sekali. Aku menyesal, dulu selalu tak bersedia bernyanyi bersamamu. Hanya meledek dengan canda tentang suaramu. Ternyata, aku menyadari, lagu itu lebih pantas untukku.

Maafkan aku, Tifa..., aku memang tak pantas menjadi papamu. Betapa hina, mimpi dan harapan ini. Percayalah, aku hanya ingin kau tersenyum kembali, meski tak ada namaku lagi dalam setiap langkahmu menggapai hari.

“Dan, bila esok datang kembali

Seperti sedia kala di mana kau bisa bercanda

.

Dan, perlahan Kau pun lupakan Aku

Mimpi burukmu

Di mana telah kutancapkan duri tajam

Kau pun menangis, menangis sedih

Maafkan Aku

.

Dan, bukan maksudku, bukan inginku

Melukaimu

Sadarkah Kau di sini pun ku terluka

Melupakanmu, menepikanmu

Maafkan Aku

.

Lupakanlah saja diriku, bila itu bisa membuatmu

Kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala

Caci maki saja diriku, bila itu bisa membuatmu

Kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala”

.

Oh, Angin pengap di sela pintu dan jeruji, meski kau enggan kumohon sampaikan, nyanyianku dari dalam hati yang sepi ini. Aku ingin, meski sepanjang waktu menanti, untuk mendengar kabar ia berseri dan bersinar kembali. Meski tanpa namaku yang hanya menjadikannya tertusuk duri.

.

.

jan/2012

.

C.S.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline